---Ads Header---

Santet 1998: Kisah Kelam yang Akhirnya Dipugar ke Layar Lebar

---Ads below image---



– Insiden pembunuhan yang disamar sebagai korban serangan dukun santet tahun 1998-1999 di Banyuwangi, Jawa Timur merupakan bagian dari masa gelap dalam sejarah negeri ini.

Komnas HAM justru mencurigai adanya penyalahgunaan hak asasi manusia yang parah dalam insiden tersebut, di mana diperkirakan kurang lebih 200 jiwa meninggal.

Dari total 200 tersangka yang diduga terlibat dalam praktik sihir hitam tersebut, 140 orang di antaranya menjadi korban pembunuhan di wilayah Banyuwangi.

Sayangnya, sampai sekarang kasus itu belum terpecahkan. Penyebab utama dan orang-orang yang berada di belakangnya tetap menjadi teka-teki.

Saat ini, insiden tersebut difilmkan dengan judul yang sama.
Pembantaian Dukun Santet
yang disutradarai oleh Azhar Kinoi Lubis dan sudah diputar di bioskop mulai tanggal 8 Mei 2025.

Maka, bagaimanakah latar belakang dari insiden penghilangan nyawa dukun santet tersebut?

Riwayat perkara pembunuhan terhadap praktisi tenung

Dikutip dari pemberitaan
Pada 17 September 2022, insiden tersebut dimulai dengan pencatatan yang dilaksanakan oleh Bupati Banyuwangi saat itu, Purnomo Sidik, terkait dukun dalam wilayahnya.

Perintah untuk melakukan pencatatan tersebut disampaikan lewat pesan radio pada tanggal 6 Februari 1998 ke semua instansi termasuk camat dan kepala desa.

Meskipun begitu, pencatatan tersebut pada dasarnya bertujuan untuk memberikan perlindungan kepada para dukun. Akan tetapi, setelah data tentang nama-nama mereka bocor, situasinya malah berkebalikan.

Data tersebut kemudian sampai di tangan pihak tertentu sehingga menghasilkan pembantaian masif.

Pada September 1998, Bupati Purnomo Sidik sempat mengeluarkan radiogram berisi penegasan terhadap instruksi sebelumnya, yakni pendataan orang-orang yang dinilai memiliki kekuatan magis untuk melindungi mereka dari kekerasan.

Namun, tragisnya pembunuhan terhadap mereka yang disebut-sebut sebagai penyihir semakin bertambah parah.

Hingga akhir Oktober 1998, terdapat sebanyak 94 korban meninggal dunia dalam kasus pengeboman orang yang diduga sebagai praktisi sihir hitam atau dukun santet.

Tindakan kekerasan yang terjadi ini menimbulkan rasa takut di kalangan masyarakat. Baik di perkotaan maupun pedesaan di wilayah Banyuwangi, warga bersiaga setiap malamnya.

Peristiwa tersebut kemudian merembet ke sejumlah wilayah di Jawa.

Namun, pembunuhan terjadi dengan cara yang mirip, yaitu penyerang akan menandai tempat tinggal korbannya satu hari sebelum peristiwa tersebut berlangsung. Pada saat-saat mendekati pelaksanaan kejahatan, listrik secara tiba-tiba mati.

Kesaksian warga yang selamat

Warga dari Dusun Panco, Desa Banjarsari, Kecamatan Glagah, Banyuwangi, yang bernama Ngaseha (83), juga menjadi salah satu korban.

Harian Kompas
, tanggal 4 Oktober 1998 melaporkan bahwa rumah Ngaseha direndam segerombolan orang pada pukul 03.00 pagi.

Setelah itu mereka masuk ke dalam rumah Ngaseha dan mengeluarkannya dengan paksa. Istri tersebut tidak dapat melakukan apapun, dikarenakan usia beliau sudah sangat lanjut.

Diboyong ke dalam sebuah kendaraan mikrolet dan digerakkan menuju Desa Rejoso, dia disertai oleh sekelompok orang yang mencaci maki dengan jumlah belasan hingga dua puluh orang serta membawa senjata tajam.

“Bunuh si penyihir. Hancurkan dia,” teriak mereka.

Mobil berhenti di pinggir ladang di daerah Rejoso. Mereka menjatuhkan badan Ngasehan ke atas lahan pertanian tersebut kemudian menariknya menggunakan tali plastik.

Di lokasi tersebut, mereka mengikat leher Ngaseh. Merasa sudah mati, para pembunuh meninggalkannya tanpa mempedulikan mayitnya.

Ternyata Ngaseha belum meninggal dunia, melainkan hanya pingsan saja. Sesudah kembali sadar, dia berusaha merayap keluar dari dalam tanah liat sawah tersebut.

Beberapa penduduk lokal yang melihat kejadian pembunuhan tersebut langsung membantu. Sementara itu, Ngaseha pergi pulang dengan berjalan kaki.

“Saya mengunjungi Pak Koramil siang itu dan kemudian dibawa ke kantor polisi,” jelas Ngaseha.

Bermacam-macam teori ada dibalik motif pembunuhan terhadap praktisidukun santet.

Tanda tanya mengenai pelanggaran HAM yang serius tersebut mendorong beberapa pihak, termasuk organisasi Nahdlatul Ulama (NU), untuk menyelidiki lebih lanjut.

Beberapa hipotesis ada untuk menggambarkan penyebab dari peristiwa pembunuhan tersebut, sebagaimana diketengahkan dalam naskah tersebut.
Geger Santet Banyuwangi
(2001).

Menurut hasil investigasi dari pemda serta polisi lokal, kasus pembunuhan tersebut merupakan tindak pidana yang terjadi semata-mata karena persaingan wilayah antar dukun santet.

Teori kedua dikemukakan oleh Tim Pencari Fakta Pengurus Wilayah NU (TPF-PWNU). Menurut mereka, insiden tersebut menunjukkan adanya motif politis sebab beberapa orang yang menjadi korban adalah pengajar agama, kiai, ataupun tokoh Nahdatul Ulama (NU).

Salah satu asumsi mengatakan bahwa motif dari pembantaian tersebut adalah untuk membalas dendam terhadap garis keturunan mantan anggota PKI yang sebelumnya telah diserang oleh ulama dan warga NU selama Peristiwa G30S tahun 1965.

Asumsi keempat ini juga berhubungan dengan isu politik, yakni ancaman terhadap PDI-P dipimpin oleh Megawati Soekarnoputri yang saat itu tengah menyelenggarakan Musyawarah Nasional di Bali.

Teori soal pertanahan

Namun, temuan studi oleh Doktor asal Universitas Cornell, Amerika Serikat, Douglas Kammen tahun 2001 tentang penyebab di balik peristiwa tersebut tidak sama dengan pandangan umum yang tersebar.

Dia menarik kesimpulan, sebagaimana dilansir dari laporan berita tersebut.
Harian Kompas
, 4 Juli 2001, insiden pembunuhan dukun santet di Banyuwangi serta penyebarannya yang terkendali ke beberapa wilayah lain di Pulau Jawa, dipicu oleh masalah sengketa tanah.

Kammen mengatakan bahwa kekecewaan serta amarah para petani garisangan terhadap pemilik lahan atau petani yang memiliki tanah merupakan penyebab utama dari peristiwa pembantaian yang disamarkan sebagai penumpasannya dukun sihir di tahun 1998.

Dia menyebutkan bahwa analisis-analisis sebelumnya cukup rumit untuk diverifikasi keakuratannya. Oleh karena itu, dia menciptakan sebuah analisis baru dengan fokus pada krisis ekonomi serta persoalan-persoalan pertahanan.

Di wilayah Banyuwangi serta sekitarnya, sistem kebijakan lahan didominasi oleh para pemilik tanah besar.
(landlord)
atau petani pemilik tanah.

Di wilayah Banyuwangi dan sekitarnya terungkap pula bahwa para kiai yang mengelola ponpes beserta santrinya memiliki lahan sendiri.

Oleh karena itu, Kammen berpendapat bahwa para kiai yang memiliki tanah tegalan dirisiko diambisi oleh masyarakat tani yang menjadi penyewa.

Oleh karena itu, menurut pandangan mayoritas warga Banyuwangi, orang yang menyebarkan santet bukan hanya dukun santet, tapi juga pemilik lahan.

Akan tetapi, karena mereka tak berani membunuh kiai, yang diburu dan dibunuh adalah tuan tanah, yang strata sosialnya di bawah kiai.

Ini didukung oleh informasi dari kantor cabang Nahdlatul Ulama (NU) di Banyuwangi.

“Banyak dari para korban merupakan petani berkebun sendiri. Mayoritas umur mereka lebih dari 57 tahun. Tidak terdapat satupun kiai sebagai salah satu korban. Yang jadi korban hanya seorang ustaz,” ungkap Kammen.

278 orang masuk bui

Harian Kompas
, 30 April 2001 memberitakan, 279 orang dinyatakan bersalah atas kasus pembantaian dukun santet di Banyuwangi.

Kebanyakan dari mereka tersangkut pasal 170 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), tentang pengeroyokan yang mengakibatkan korban tewas dan luka parah.

Meskipun demikian, sesuai dengan rangkuman data kasus santet Banyuwangi, masa hukumannya bagi para terdakwa biasanya berkisar dari tiga hingga empat tahun. Namun, sebagian besar mendapatkan vonis yang lebih ringan yaitu hanya dua tahun.

Meskipun begitu, pelaku utama dibalik kasus pembunuhan para dukun santet di Banyuwangi belum teridentifikasi sampai sekarang.

Free Donation

Click Here
---Ads After Post---