Sabo, JAKARTA – Narasi besar program transisi energi sudah digaungkan Presiden Prabowo Subianto sejak awal memimpin. Target penggunaan energi terbarukan, pensiun dini PLTU, dan terkini proyek sampah menjadi energi (waste to energy/WtE) digadang-gadang sebagai keseriusan pemerintah menyikapi perubahan iklim dan transisi energi.
Sayang, setelah setahun memimpin negeri ini, Presiden Prabowo Subianto belum banyak menerbitkan kebijakan kelas kakap dalam isu ekonomi hijau.
Untuk itu, Kepala Negara perlu mengambil langkah nyata untuk mewujudkan ambisinya menjadikan Indonesia sebagai raja energi hijau dunia dengan mencapai 100% energi terbarukan hingga 2035. Konsistensi target dan regulasi, hingga pengadaan energi terbarukan yang transparan, menjadi kunci untuk merealisasikan ambisi tersebut.
Policy and Program Manager Cerah, Wicaksono Gitawan mengatakan kebijakan ketenagalistrikan menjadi hal yang sangat penting dalam mempercepat transisi energi di Indonesia.
Oleh sebab itu, komitmen publik Presiden Prabowo untuk mencapai 100% energi terbarukan perlu diterjemahkan dalam dokumen resmi kebijakan energi nasional secara konsisten.
Hal ini penting karena konsistensi kebijakan akan mempermudah perencanaan dan menjadi sinyal kuat untuk mendorong masuknya investasi ke Tanah Air.
“Indonesia memiliki modal untuk bisa mempercepat proses transisi energi. Namun, lagi-lagi political will yang kuat harus diterjemahkan dalam kebijakan yang riil agar wacana dapat tereksekusi,” katanya dalam keterangan pers, Sabtu (18/10/2025).
Survei Celios
Di sisi lain, berdasarkan survei Rapor 1 Tahun Kinerja Prabowo – Gibran oleh Celios, menunjukkan bahwa meskipun ada sejumlah besar responden yang merasa perhatian pemerintah cukup (37%) dalam kinerja pemerintah dalam isu lingkungan dan perubahan iklim, persentase yang sama besarnya yang merasa kurang (37%).
Hal ini mengindikasikan bahwa kinerja pemerintah dalam isu lingkungan dan perubahan iklim masih menjadi sorotan dan membutuhkan perbaikan untuk mendapatkan kepercayaan dan penilaian yang lebih positif dari publik secara keseluruhan.
Adapun terkait ulasan penilaian publik terhadap masalah utama yang harus segera diperbaiki oleh pemerintah, survei Celios menunjukkan isu Lingkungan & energi (transisi energi, polusi, kehutanan) berada di urutan terbawah dari daftar masalah utama yang harus segera diperbaiki oleh pemerintah.
Posisi yang sangat rendah (0.9%) untuk isu lingkungan dan energi menunjukkan beberapa hal, bagi sebagian besar publik, masalah mendasar terkait ekonomi harian dan kesejahteraan langsung jauh lebih mendesak dan relevan dibandingkan isu lingkungan dan perubahan iklim.
Hal ini tampak dari tiga masalah utama yang paling mendesak untuk diselesaikan adalah penciptaan lapangan kerja & perlindungan pekerja (23.3%), pengendalian harga kebutuhan pokok (beras, pangan, energi) berada di urutan kedua dengan (22.4%).
Tidak dipandangnya isu lingkungan (seperti transisi energi dan polusi) sebagai prioritas untuk segera diselesaikan mengingat isu ini dianggap sebagai masalah jangka panjang atau elite yang kurang berdampak langsung pada kehidupan sehari-hari masyarakat dibandingkan masalah seperti harga beras atau ketersediaan pekerjaan.
Proyek PLTS 100 GW
Salah satu proyek ambisius yang tiba-tiba muncul dan jauh dari perencanaan RUPTL PLN 2025 – 2034, ialah target Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) 100 GW. Proyek ini rencananya akan disandingkan dengan Koperasi Merah Putih dengan kapasitas 1,5 megawatt per desa.
Yayasan Kesejahteraan Berkelanjutan Indonesia (Sustain) menilai tahun pertama pemerintahan Prabowo telah penuh dengan pernyataan visi, termasuk target Indonesia mencapai 100% energi terbarukan pada 2035 dan pembangunan masif PLTS 100 GW, yang sebagian besar direncanakan di tingkat desa.
“Dalam empat tahun ke depan, ambisi tersebut perlu diterjemahkan menjadi kebijakan konkret dengan kebijakan dan kerja lintas Kementerian,” ujar Tata Mustasya, Direktur Eksekutif Sustain, dalam keterangan tertulis, Senin (20/10/2025).
Menurutnya, visi 100 GW energi surya sangat mungkin dilaksanakan. Sebagai contoh, setiap desa hanya memerlukan sekitar 1,5 hektare (Ha) lahan yang dapat digunakan secara dual-purpose untuk agrovoltaic.
“Paling tidak dalam empat tahun ke depan, dua provinsi kunci harus sudah menjadi pusat energi surya,” tambah Tata.
Ambisi ini juga sejalan dengan keinginan pemerintah mengurangi beban subsidi listrik yang membengkak 10,4% menjadi Rp75,8 triliun pada 2024, seperti yang sempat disinggung Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa.






