Free Gift

Selepas Subuh : Bersinarlah Anak-Anak Kerak Nasi !

Pagi kemarin, ada bau yang sedikit mengganggu di dapur. Bau sangit. Asap tipis mengepul dari rice cooker yang baru saja beralih ke mode “hangat”. Istriku lupa memberi cukup air ketika kubuka tutupnya. Lapisan atas nasi itu putih, sempurna, mengepulkan uap yang wangi. Tapi ketika sendokku menyentuh dasar, ia membentur sesuatu yang keras. Keras kepala. Kerak nasi. Bagian yang gosong, yang gagal menjadi nasi, menempel erat pada logam, menolak untuk diambil.

Orang Jawa, menyebutnya intip. Benda ini adalah paradoks. Ia adalah martir. Ia mengorbankan dirinya, rela menahan panas paling brutal dari dasar panci, agar nasi-nasi di atasnya bisa matang dengan sempurna. Ia adalah bagian yang “gagal”, tapi kegagalannya itu esensial. Ia adalah kegagalan yang produktif. Kita sering mengumpatnya karena membuat panci susah dicuci, tapi di lain waktu, kita mengeringkannya, menggorengnya, dan memberinya garam. Tiba-tiba, ia jadi kemewahan.

Aku meletakkan sendok nasi itu dan berpikir tentang ruang kelasku. Di setiap angkatan, di setiap kelas yang kudatangi, selalu ada mereka: anak-anak “kerak nasi”. 

Mereka yang duduk di barisan paling belakang. Mereka yang paling dekat dengan “panas”-nya kehidupan—panasnya pertengkaran orang tua, panasnya kemiskinan, panasnya pergaulan yang salah. Mereka “gosong” lebih dulu. Fisik mereka “hadir” di kelas, tapi jiwa mereka “absen”, menempel erat di dasar masalah, menolak untuk diajak bicara.

Dunia di luar sana, dunia yang viral itu, adalah dunia yang memuja nasi putih yang pulen. Dunia yang merayakan kesempurnaan. Dunia influencer dengan wajah mulus dan hidup yang tampak tanpa cacat. Dunia ini tidak punya kesabaran untuk “kerak”. Ia ingin yang instan, yang cantik, yang mudah disendok. Jika ada yang “gagal”, “gosong”, atau “keras kepala”, respons instingnya adalah: buang. Gosok sampai bersih. Lupakan. Sekejam itu.

Tapi bau sangit itu, bau gosong itu, adalah bau yang paling jujur. Ia adalah aroma dari sebuah perlawanan, dari sesuatu yang menolak hancur meski dibakar. Murid-muridku yang “kerak nasi” itu, sejatinya mereka tidak gagal. Mereka hanya dibakar oleh takdir yang berbeda. Kerasnya mereka bukanlah pembangkangan. Itu adalah tameng. Kepalan tangan mereka yang tersembunyi di saku celana adalah satu-satunya hal yang mereka miliki agar tidak hancur lebur.

Tugas kita sebagai guru bukanlah sekadar menyendok nasi pulen yang mudah (para juara kelas) dan membuang keraknya. Tugas kita adalah berani memasukkan tangan ke dasar panci yang panas itu. Tugas kita bukan “membersihkan” mereka, karena luka bakar tak bisa dihapus. Tugas kita adalah melihat mereka, mengakui “kegosongan” mereka, dan menemukan cara untuk “menyajikan” mereka. Mungkin kerak itu takkan pernah jadi nasi putih. Tapi setidaknya, jika diolah dengan sedikit “garam” kepercayaan, mereka bisa jadi intip paling gurih.

Aku mengambil kerak nasi itu dengan sedikit paksa. Warnanya cokelat gelap. Keras. Tapi saat aku mematahkannya dan mencicipinya… kriuk… ada rasa yang tak dimiliki oleh nasi putih di atasnya. Rasa yang lebih dalam, lebih kompleks, sedikit pahit namun gurih. Ah, jangan-jangan, kita terlalu sibuk mengagumi nasi pulen, sampai kita lupa bahwa karakter terkuat seringkali ditempa di dasar panci yang paling panas. (Kkh)

Want a free donation?

Click Here

Related Post

Tinggalkan komentar