Sabo, BINTARO – Ketua Kelompok DPD di MPR Dedi Iskandar Batubara meminta peran lembaganya diperkuat dalam mengawasi kebijakan pemerintah daerah (pemda).
Hal itu disampaikannya dalam Diskusi Publik dengan tema ‘Penguatan Peran DPD RI dalam Mengawasi Kebijakan Pemerintah Daerah’ di Hotel Santika Premiere, Bintaro (26/8).
Dedi mengatakan lahirnya DPD jika dilihat dari sejarahnya punya keterkaitan dengan permasalahan yang ada di daerah.
Pada saat itu suara-suara daerah menuntut adanya pemerataan ekonomi, bahkan tuntutan sebagaian daerah yang ingin berpisah dari NKRI mempunyai resonansi yang begitu kuat sehingga diperlukan berdirinya lembaga yang benar-benar punya perhatian pada persoalan kedaerahan.
Pada akhirnya dibentuklah DPD yang dalam Pasal 22 D UUD NRI 1945 diberikan kewenangan untuk memperhatikan persoalan-persoalan yang terkait dengan kedaerahan.
“Seiring berjalan, kewenangan DPD di Pasal 22 D dianggap masih banyak kelemahan karena DPD RI tidak diberikan otoritas sebagai pengambil keputusan baik di bidang legislasi, budgeting, maupun pengawasan yang terkait kedaerahan,” ungkap Dedi dalam keterangannya, Rabu (27/6).
Dia mengungkapkan kewenangan DPD selain diatur dalam Pasal 22 D UUD 1945, ada satu kewenangan yang berurusan langsung dengan pengawasan terhadap pemerintahan daerah yang diatur dalam UU Nomor 2 Tahun 2018 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 Tentang MD3 Pasal 249 huruf j, yaitu melakukan pemantauan dan evaluasi atas rancangan peraturan daerah dan peraturan daerah.
Menurut Dedi, pasal 249 huruf j ini sebenarnya memberikan ruang bagi DPD untuk mengawasi secara langsung kebijakan pemerintahan daerah.
Namun begitu, hasil pemantauan dan evaluasi yang dilakukan DPD tidak bisa menganulir keberadaan raperda dan perda yang dibuat pemda jika tidak sesuai dengan kehendak masyarakat daerah atau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan di atasnya.
“Sedangkan saat ini kewenangan untuk menganulir Raperda dan Perda ada di tangan pemerintah pusat ataupun juga bisa dilakukan dengan melakukan judicial review ke Mahkamah Agung jika dianggap perda itu bertentangan dengan peraturan perundang-undangan di atasnya,” terangnya.
Dia juga menanggapi banyaknya kepala daerah di kabupaten atau kota akhir-akhir ini sering di demo, karena kebijakan yang dianggap merugikan masyarakat daerah.
Menurutnya, hal ini tidak perlu terjadi jika kepala daerah mau transparan dan mau mengkomunikasikan dengan berbagai stakeholder, mulai dari DPRD, gubernur dan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) bahkan juga dengan DPD yang merupakan representasi dari masyarakat daerah.
Di tengah banyaknya kebijakan kepala daerah yang tidak aspiratif, kata Dedi, seharusnya DPD diberikan kewenangan yang lebih kuat lagi untuk menjalankan pemantauan dan evaluasi terhadap Raperda dan perda, sehingga pengawasan preventif yang dilakukan DPD terhadap kebijakan pemerintah daerah lebih efektif.
“Perlu didorong tugas DPD dalam melakukan pemantauan dan evaluasi terhadap Raperda dan Perda tidak hanya diatur dalam UU MD3, namun juga diatur dalam UU Pemerintah Daerah,” ujarnya.
Dalam rangka pengawasan preventif terhadap kebijakan pemerintah daerah agar berjalan sesuai koridor hukum dan kehendak masyarakat daerah, lanjut dia, diperlukan pengawasan berlapis mulai dari pengawasan oleh gubernur, menteri dalam negeri dan DPD.
Sehingga Raperda ataupun Perda yang ditetapkan tidak sah atau tidak bisa dilaksanakan kecuali setelah melewati evaluasi dari gubernur, mendagri, dan DPD.
Dedi menambahkan selama ini keberadaan DPD sebagai lembaga yang mempunyai kewenangan dalam mengatensi persoalan-persoalan kedaerahan belum begitu diterima pemerintah daerah sehingga relasi DPD dengan kepala daerah tidak selalu sinergi.
Ini bisa jadi karena sejak awal kepala daerah sudah underestimate terhadap DPD yang dianggap tidak memberikan keuntungan bagi pemda dibandingkan dengan DPR yang lebih dihargai karena mereka datang dengan membawa program.
Dedi menekankan mindset yang salah ini perlu diluruskan dengan menempatkan DPD sebagai lembaga yang punya peran strategis untuk mengadvokasi setiap permasalahan kedaerahan agar ada manfaatnya bagi masyarakat.
“DPD bisa menjadi jembatan sekaligus mengawal kepentingan pusat dan daerah agar program pembangunan yang dicanangkan pemerintah pusat sejalan dan seirama dengan apa yang dijalankan pemerintah daerah, sehingga tidak ada yang dirugikan ataupun ditinggalkan satu sama lain,” ungkap Dedi Iskandar.
Terakhir, senator dari Sumatera Utara (Sumut) itu juga menekankan pentingnya diskusi publik yang diinisiasi Kelompok DPD mampu melahirkan gagasan-gagasan segar yang hasilnya dapat menjadi rumusan untuk memperbaiki lemahnya peran DPD dalam mengawasi kebijakan pemerintah daerah.
Sebagai informasi, sejumlah anggota DPD hadir dalam diskusi publik sebagai para narasumber, seperti Ahmad Bastian SY (Lampung), Prof. Dailami Firdaus (DKJ), Ria Saptarika (Kepulauan Riau), Pdt. Penrad Siagian (Sumatera Utara).
Adapun, narasumber dari pakar yang hadir Prof. John Pieris (Guru Besar Hukum Tata Negara dari Universitas Kristen Indonesia), Nurmawati Dewi Bantilan (Anggota K3 MPR), Prof. Djohermansyah Djohan (mantan Dirjen Otonomi Daerah Kemendagri), Prof. Muhadam Labolo (Guru Besar Ilmu Pemerintahan IPDN), dan Dr. Radian Syam (pengamat hukum tata negara yang juga pengajar di STIH IBLAM). (mrk/jpnn)









