Free Gift

Setelah Macan Masuk Hotel, Harimau Berkeliaran di Kantor BRIN Agam

SEEKOR harimau sumatera yang terlihat berkeliaran di area kantor Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) di Agam, Sumatera Barat, baru-baru ini dan sebelumnya seekor macan tutul masuk ke sebuah hotel di Bandung dinilai sebagai tanda bahaya dari alam.

“Apa yang tampak aneh sebenarnya adalah tanda bahaya adanya keseimbangan alam yang terganggu,” kata peneliti ahli utama bidang konservasi keanekaragaman hayati Pusat Riset Ekologi BRIN, Hendra Gunawan, lewat keterangan tertulis, Selasa, 21 Oktober 2025.

Kemunculan kucing-kucing besar itu beredar viral lewat video dan foto di media sosial. Dari keterangan akun resmi Badan Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sumatera Barat di Instagram, kemunculan harimau sumatera itu dilaporkan terlihat di Jalan Lintas Sumatera yang menghubungkan Bukittinggi-Medan dan di kawasan perkantoran Stasiun Lapangan BRIN Koto Tabang di Nagari Koto Rantang, Kecamatan Palupuh, Agam, pada kurun 12-18 Oktober 2025.

Sementara seekor macan tutul ditangkap petugas pada 6 Oktober lalu setelah masuk ke dalam Hotel Anugerah di Jalan Padasaluyu 18 Bandung.

Menurut Hendra, kejadian seperti itu tidak bisa disebut kebetulan. Harimau dan macan tutul sejatinya adalah satwa penghuni inti hutan yang hidupnya tersembunyi dan jauh dari manusia. “Kalau mereka sekarang muncul di kebun, jalan raya, bahkan hotel, itu bukan perilaku alami, tapi Itu tanda mereka terpaksa keluar dari hutan untuk bertahan hidup,” katanya.

Menurut Hendra, penyebab hal itu banyak faktor, seperti kerusakan habitat akibat pembukaan lahan, pembangunan jalan, dan permukiman yang membuat ruang hidup mereka semakin sempit. Macan dan harimau sering kali mengejar mangsa seperti babi hutan atau monyet ekor panjang yang memang hidup di tepi hutan. “Ada kemungkinan juga satwa tersesat atau mengalami disorientasi spasial atau kehilangan orientasi karena terjebak di lingkungan yang tidak dikenalnya,” ujar Hendra.

Fragmentasi hutan, menurutnya, merupakan akar permasalahan meningkatnya konflik manusia dengan satwa liar. Fragmentasi terjadi ketika hutan besar terpecah-pecah menjadi potongan kecil yang terisolasi oleh jalan, ladang, atau permukiman.

“Fragmentasi lebih berbahaya daripada sekadar pengurangan luas hutan,” kata Hendra. Fragmentasi tidak hanya mengurangi luas, tapi juga memutus konektivitas antarhabitat, menghilangkan area inti, dan memperpanjang tepian hutan yang memungkinkan satwa liar menjadi semakin sering berinteraksi dengan manusia.

Hendra mengatakan predator puncak di hutan seperti harimau sumatera dan macan tutul jawa membutuhkan wilayah jelajah luas untuk bertahan hidup. Mereka akan berebut teritori ketika ruangnya terpotong.

“Yang kalah biasanya jantan muda atau tua lalu terpaksa keluar mencari wilayah baru dan sering melewati kebun atau permukiman,” kata dia. Sedikitnya telah terjadi 137 kali konflik antara manusia dan harimau sejak 2005-2023 di 14 kota dan kabupaten di Sumatera Barat.

Sebagian besar kasus ditemukan di kawasan yang hutannya telah terfragmentasi parah, seperti di Lanskap Cagar Alam Maninjau. Dengan adanya tren fragmentasi yang terus meningkat, Hendra mengingatkan bahwa konflik manusia-satwa liar akan terus berulang, bahkan bisa meningkat. Solusinya bukan sekadar mengevakuasi satwa yang muncul, namun membangun tata ruang dan kebijakan berbasis ekologi,” ujarnya.

Dalam rancangan tata ruang dan wilayah, menurut Hendra, harus pula memuat koridor satwa, jalur jelajah, dan area konservasi yang saling terhubung. Tanpa itu, satwa akan terus keluar hutan karena tak punya lagi ruang hidup.

Untuk mencegah konflik berikutnya, Hendra menyebutkan empat pendekatan, yaitu penghindaran, mitigasi, toleransi, dan koeksistensi atau menciptakan manfaat bersama, misalnya lewat ekowisata berbasis komunitas atau pertanian ramah satwa.

Want a free donation?

Click Here

Related Post

Tinggalkan komentar