Free Gift

Sifat Perfeksionis Bisa Bikin Anak Burnout, Bagaimana Menenangkannya?

Mama mungkin pernah merasa khawatir tentang masa depan anak. Di era yang serba cepat dan penuh persaingan ini, wajar jika orangtua ingin anak berprestasi agar siap bersaing secara global. Namun tanpa disadari, dorongan untuk selalu “harus berhasil” bisa memicu stres dan burnout pada anak.

Penelitian menunjukkan bahwa pola asuh berperan besar dalam kesejahteraan emosional anak. Umumnya, pola asuh dibagi menjadi tiga: demokratis, otoriter, dan permisif. Pola asuh otoriter sering dikaitkan dengan meningkatnya risiko stres dan depresi pada remaja, terutama ketika anak ditekan untuk mencapai standar tinggi yang ditetapkan orangtua.

Saat anak gagal memenuhi ekspektasi tersebut, mereka bisa merasa tidak berdaya, cemas, dan akhirnya menumbuhkan sifat perfeksionis yang ingin selalu sempurna agar diterima.

Sayangnya, perfeksionisme yang berlebihan justru membuat anak mudah stres, cepat lelah secara mental, dan merasa tidak pernah cukup baik.

Pada artikel kali ini, Sabo akan membahas bagaimana sifat perfeksionis bisa bikin anak mudah burnout dan stres, bagaimana cara orangtua membantu agar anak tetap berkembang tanpa kehilangan kebahagiaannya.

1. Keberhasilan butuh proses

Salah satu ukuran keberhasilan anak di sekolah sering kali dilihat dari prestasi akademiknya, yang mencakup kemampuan berpikir (kognitif), sikap (afektif), dan keterampilan (psikomotor). Namun, prestasi belajar tak hanya dipengaruhi oleh faktor luar, tapi juga faktor internal seperti kepribadian anak. Salah satunya adalah sifat perfeksionis.

Perfeksionisme sendiri merupakan kecenderungan seseorang untuk menetapkan standar tinggi dan berusaha keras mencapai kesempurnaan, bahkan terkadang karena merasa dituntut oleh ekspektasi orang lain.

Anak yang perfeksionis biasanya punya motivasi besar untuk berprestasi, tapi jika tidak diarahkan dengan tepat, sifat ini bisa membuat mereka mudah stres atau kecewa saat hasilnya tak sesuai harapan.

Itulah mengapa penting bagi anak untuk belajar menghargai proses, bukan hanya mengejar hasil akhir. Saat anak fokus pada proses, mereka akan belajar banyak hal berharga:

  • Tangguh menghadapi kegagalan

    Anak memahami bahwa kesalahan adalah bagian dari belajar, bukan akhir dari segalanya.

  • Termotivasi dari dalam diri

    Mereka belajar melakukan sesuatu karena minat dan rasa ingin tahu, bukan hanya demi pujian atau nilai tinggi.

  • Lebih memahami dan menguasai hal yang dipelajari

    Fokus pada proses membuat anak berpikir kritis dan memahami konsep dengan lebih mendalam.

  • Melatih disiplin dan ketekunan

    Anak belajar bahwa hasil besar datang dari usaha yang konsisten.

  • Meningkatkan rasa percaya diriSaat melihat progres kecil yang mereka capai, anak akan lebih yakin pada kemampuannya.

  • Menikmati perjalanan belajar

    Anak belajar bahwa setiap langkah, sekecil apa pun, patut diapresiasi.

Dengan begitu, anak tidak hanya tumbuh menjadi pribadi yang berprestasi, tapi juga bahagia dan resiliensi dalam menghadapi berbagai tantangan hidup.

2. Perfeksionisme bisa tumbuh dari rumah

AA1P0OXg

Tanpa disadari, sifat perfeksionis sering kali berawal dari lingkungan terdekat yaitu rumah. Saat “cukup baik” tidak pernah terasa cukup, anak mulai merasa bahwa nilai dirinya bergantung pada kesempurnaan.

Beberapa hal yang bisa memicu tumbuhnya sifat perfeksionis pada anak, antara lain:

  • Takut akan penilaian atau penolakan orang lain

    Anak merasa harus selalu tampil sempurna agar diterima dan tidak dikritik.

  • Ekspektasi tinggi dari orangtua

    Pola asuh yang terlalu menuntut bisa membuat anak merasa gagal jika tidak memenuhi standar tertentu.

  • Keberhargaan diri yang rendah

    Anak berpikir, “Kalau aku bisa mencapai hal itu, baru aku berharga.”

  • Rasa tidak pernah cukupMuncul pikiran seperti, “Kalau aku berhasil, baru orangtuaku bangga.”

  • Kebutuhan untuk selalu mengendalikan segalanya

    Anak merasa aman hanya jika semua hal berjalan sesuai keinginannya.

  • Mengukur nilai diri dari pencapaianAnak menilai dirinya berdasarkan hasil, bukan usaha.

  • Kebiasaan membandingkan diri dengan orang lain

    Pikiran seperti, “Hidup dia lebih baik, aku juga harus seperti dia,” membuat anak kehilangan rasa syukur.

Perfeksionisme memang bisa lahir dari niat baik, tapi jika dibiarkan tanpa keseimbangan, justru bisa membuat anak mudah stres dan kelelahan.

3. Upayakan anak agar merasa cukup dan bersyukur

AA1P0MXO

Anak yang merasa cukup akan tumbuh dengan hati yang tenang dan pikiran yang positif. Ajarkan anak untuk bersyukur atas apa yang dimilikinya, sekecil apa pun itu.

Bukan berarti berhenti berusaha, tapi belajar menikmati setiap pencapaian tanpa membandingkan diri dengan orang lain. Rasa cukup adalah pondasi penting agar anak tidak terjebak dalam perfeksionisme berlebihan.

Melatih rasa syukur anak dapat dilakukan sehari-hari dengan membiasakan doa bangun pagi, bersyukur saat makan, bersyukur saat diberi sesuatu, hingga menulis jurnal mengenai apa-apa saja yang disyukuri hari itu.

Anak akan terbiasa melihat hal kecil sebagai hal yang bisa disyukuri.

4. Terkadang tak mengapa jadi ‘biasa saja’, tidak harus selalu sempurna

AA1P0MXS

Tidak semua hal harus sempurna, dan tidak setiap momen harus luar biasa. Ada kalanya menjadi “biasa saja” justru membuat anak lebih manusiawi dan bahagia.

Biarkan anak melakukan kesalahan, gagal, atau merasa tidak hebat setiap saat. Dari situlah mereka belajar menerima diri dan menemukan makna sejati dari kehidupan yang seimbang.

5. Hindari ambisi yang tidak sehat pada anak

AA1P0MY0

Dampingi anak dengan empati dan bimbing mereka untuk memahami bahwa kesalahan adalah bagian wajar dari belajar. Tujuannya bukan menjadi sempurna, tapi menjadi versi terbaik dari dirinya sendiri.

Mama dan Papa bisa memulainya dengan:

  • Berikan pujian dan saran yang membangun

    Afirmasi positif akann menumbuhkan growth mindset dan fokus pada proses daripada hasil

    “Terima kasih sudah berusaha, Mama bangga. Nilai bukan segalanya, tapi pelajaran yang kamu dapat jadi yang utama.”

  • Ingatkan pentingnya menghargai diri sendiri

    “Berusaha itu penting, tapi nggak boleh terlalu paksa kalau sudah capek ya, Nak. Yuk kita istirahat dulu!”

  • Menerima dan mencintai anak tanpa syarat

    “Terima kasih sudah jadi kebahagiaan Papa. Kami semua menyayangimu”

  • Contohkan Self-acceptance“Sukses nggak selalu dilihat dari uang atau kepintaran, kamu adalah anugerah terbaik untuk Mama dan Papa.”

  • Yakinkan anak bahwa orangtua selalu hadir

    “Apa pun yang kamu rasain, boleh cerita ke Mama dan Papa ya. Kita cari solusi bersama.”

6. Remaja yang perfeksionis cenderung takut gagal

AA1P0llL

Masa remaja adalah masa yang krusial, Ma. Di fase ini, anak sedang mencari jati diri, menentukan jurusan kuliah, dan mencoba memahami ke mana arah hidupnya. Kalau sifat perfeksionis dibiarkan tumbuh tanpa kendali, beban mental yang mereka rasakan bisa jadi sangat berat.

Remaja perfeksionis cenderung mudah stres dan takut gagal. Mereka bisa merasa tertekan setiap kali hasilnya tidak sesuai harapan, bahkan kehilangan semangat belajar karena takut salah.

Dalam jangka panjang, perfeksionisme juga bisa membuat anak sulit mengambil keputusan dan selalu khawatir hasilnya tidak cukup sempurna.

Padahal, masa remaja seharusnya menjadi waktu untuk mencoba, berani gagal, dan belajar dari pengalaman. Jadi, bantu anak memahami bahwa tidak apa-apa belum tahu arah hidupnya sekarang. Yang penting, mereka terus belajar dan berproses dengan bahagia.

Maka dari itu, yuk bantu anak agar tetap sehat mental dan fisik karena sifat perfeksionis bisa bikin anak muda burnout dan stres.

Want a free donation?

Click Here

Related Post

Tinggalkan komentar