Sabo. Kompetisi UEFA Conference League 2025/26 kembali menggulirkan matchday kedua fase liga pada Kamis (23/10) malam waktu Indonesia barat. Dari Eropa Barat hingga Timur, atmosfer penuh gairah akan kembali mengisi stadion-stadion, dengan dua kisah paling menarik datang dari Prancis dan Inggris. Strasbourg menandai kebangkitan luar biasa setelah hampir dua dekade absen, sementara Crystal Palace bersiap menciptakan sejarah di jantung London Selatan.
Bagi Strasbourg, perjalanan menuju malam Kamis ini terasa seperti kisah dongeng modern. Terakhir kali klub asal Alsace itu mencicipi atmosfer kompetisi Eropa adalah pada musim 2005/06, ketika generasi sebelumnya masih menghuni Ligue 1 tanpa bayangan krisis finansial. Namun badai besar menerpa mereka pada 2011, membuat Strasbourg terperosok hingga divisi kelima sepak bola Prancis. Tidak banyak klub yang mampu bangkit dari titik sedalam itu—tetapi Strasbourg adalah pengecualian langka.
Kebangkitan mereka dimulai perlahan tapi pasti. Sejak kembali ke Ligue 1 pada 2016/17, klub ini membangun ulang identitasnya sebagai tim berbasis akademi muda yang solid. Di bawah asuhan pelatih muda asal Inggris, Liam Rosenior, Strasbourg menutup musim lalu di posisi ketujuh—cukup untuk menembus babak play-off Conference League. Keberhasilan menyingkirkan Brondby menjadi tiket resmi mereka kembali ke pentas Eropa.
Kini, Les Bleus tampak seperti klub dengan masa depan cerah. Nama-nama muda seperti Valentin Barco, Guela Doue, Emanuel Emegha, dan wonderkid Ekuador Kendry Páez menjadi simbol dari generasi baru Strasbourg yang penuh percaya diri. Kemenangan 2-1 atas Slovan Bratislava di matchday pertama menegaskan potensi besar skuad Rosenior, dan laga kontra Jagiellonia Białystok pada Kamis malam menjadi kesempatan memperpanjang kisah manis kebangkitan itu.
Sementara di London, suasana tak kalah historis. Untuk pertama kalinya, wilayah London Selatan menjadi tuan rumah laga fase liga kompetisi antarklub Eropa. Stadion Selhurst Park, yang selama ini dikenal karena atmosfer khas Premier League, kini bersiap menyambut Crystal Palace dalam peran baru mereka sebagai kontestan Eropa. “Ini bukan sekadar pertandingan, ini bab baru bagi identitas klub dan komunitas kami,” ujar manajer Oliver Glasner dalam konferensi pers jelang laga.
Crystal Palace datang ke laga ini dengan kepercayaan diri tinggi. Mereka belum terkalahkan dalam 19 pertandingan terakhir di semua kompetisi—rekor terbaik dalam sejarah klub. Kemenangan 2-0 atas Dynamo Kyiv di matchday pertama menunjukkan bagaimana filosofi permainan Glasner yang mengandalkan pressing tinggi dan transisi cepat mulai membuahkan hasil. Melawan AEK Larnaca, Palace ingin menegaskan bahwa mereka bukan sekadar “tamu sementara” di Eropa.
Lebih dari sekadar urusan taktik, pertandingan di Selhurst Park juga menjadi simbol kebangkitan komunitas sepak bola London Selatan. Di kawasan yang selama bertahun-tahun dianggap pinggiran dibanding tetangganya di utara, seperti Chelsea atau Arsenal, Palace kini memberi harapan baru. Ribuan penggemar diperkirakan memenuhi stadion untuk menyaksikan momen bersejarah itu.
UEFA Conference League sendiri kembali menawarkan panggung alternatif bagi klub-klub yang sering terlewatkan dalam dominasi elite Liga Champions. Dengan format fase liga yang lebih padat, kompetisi musim ini menghadirkan kejutan-kejutan menarik—dari tim asal Islandia Breidablik hingga perwakilan Kosovo Drita, semuanya berbagi satu mimpi: dikenal di peta sepak bola Eropa.
Selain Strasbourg dan Palace, sejumlah laga menarik juga akan tersaji pada matchday kedua ini. Fiorentina akan bertandang ke markas Rapid Vienna, sementara Legia Warszawa menghadapi Shakhtar Donetsk dalam duel antara dua kekuatan Eropa Timur. Dari Jerman, Mainz akan mencoba mempertahankan momentum kala menjamu Zrinjski Mostar pada Jumat dini hari waktu Indonesia.
Namun, di antara semua jadwal itu, dua kota—Strasbourg dan London Selatan—tengah berdetak lebih cepat dari biasanya. Malam Kamis ini bukan hanya tentang tiga poin. Ini adalah tentang perjalanan panjang, kebangkitan dari keterpurukan, dan keyakinan bahwa dalam sepak bola, tidak ada mimpi yang terlalu jauh untuk dikejar.***






