Sabo – Cuaca panas ekstrem kembali melanda wilayah Kabupaten Indramayu dalam beberapa hari terakhir. Suhu udara tercatat mencapai 37,8 derajat Celsius, menjadikannya salah satu rekor suhu tertinggi di Jawa Barat sepanjang tahun 2025.
Kondisi ini menimbulkan pertanyaan di masyarakat, apakah fenomena ini termasuk gelombang panas atau sekadar dampak perubahan posisi matahari.
Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Indramayu bersama Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Stasiun Kertajati memberikan penjelasan resmi terkait lonjakan suhu tersebut. Penjelasan ini disampaikan pada Selasa, 21 Oktober 2025.
Kepala Sekretariat BPBD Kabupaten Indramayu, Sutrisno, menegaskan bahwa suhu panas yang terjadi bukan disebabkan oleh bencana alam luar biasa, melainkan akibat fenomena astronomis yang terjadi setiap tahun.
Menurutnya, berdasarkan informasi dari BMKG, saat ini matahari sedang berada dalam posisi gerak semu menuju selatan. Kondisi ini membuat wilayah-wilayah di sekitar garis khatulistiwa, termasuk Indramayu, menerima intensitas penyinaran matahari yang lebih tinggi.
Sutrisno menambahkan, fenomena ini merupakan hal yang wajar dan sudah dipelajari dalam ilmu geografi. Gerak semu matahari menyebabkan perubahan posisi lintang semu matahari yang berdampak pada variasi suhu di berbagai daerah.
Ia juga mengingatkan masyarakat agar tetap waspada terhadap paparan panas berlebih, terutama bagi pekerja lapangan, petani, dan nelayan yang banyak beraktivitas di luar ruangan.
“BMKG sudah menjelaskan secara ilmiah bahwa kondisi panas ini bukan karena gelombang panas seperti di luar negeri, tetapi akibat posisi matahari yang sedang bergeser ke selatan ekuator,” ujarnya.
Sementara itu, BMKG Stasiun Meteorologi Kertajati mencatat suhu maksimum di wilayah Ciayumajakuning mencapai 37,8°C sejak 15 Oktober 2025. Nilai tersebut merupakan puncak suhu tertinggi sepanjang tahun berjalan.
Ketua Tim Prakiraan Cuaca, Data, dan Informasi BMKG Kertajati, Muhammad Syifaul Fuad, menyebut fenomena ini masih tergolong normal untuk wilayah tropis seperti Indonesia.
Fuad menjelaskan, suhu tinggi terjadi karena minimnya pembentukan awan hujan. Kondisi langit yang cerah membuat sinar matahari langsung memancar ke permukaan bumi tanpa halangan.
“Walaupun sebagian wilayah sudah mulai masuk musim hujan, pembentukan awan masih sedikit. Akibatnya, panas matahari lebih terasa menyengat pada siang hari,” ujarnya melalui sambungan telepon.
BMKG memperkirakan suhu tinggi masih akan berlangsung hingga akhir Oktober atau awal November 2025. Setelah itu, potensi hujan diprediksi meningkat secara bertahap di wilayah Jawa Barat bagian utara.
Pihak BPBD mengimbau masyarakat untuk tetap menjaga kesehatan tubuh dengan memperbanyak konsumsi air putih dan menghindari paparan langsung sinar matahari dalam waktu lama.
Selain itu, warga juga diingatkan untuk mewaspadai potensi kebakaran lahan dan lingkungan akibat kondisi kering yang masih berlangsung.
“Meski terasa panas, fenomena ini tidak perlu dikhawatirkan secara berlebihan. Namun, kewaspadaan tetap diperlukan agar tidak menimbulkan dampak kesehatan maupun lingkungan,” tutup Sutrisno.***






