Free Gift

Survei kumparan: Karyawan di RI Belajar AI Otodidak, Paling Banyak dari YouTube

AA1s19OQ

Mayoritas publik di Indonesia ternyata belajar Artificial Intelligence (AI) secara otodidak. Mereka paling banyak belajar dari media sosial hingga YouTube. Tak hanya itu, karyawan yang bekerja di perusahaan juga berinisiatif belajar AI meski kantornya belum mendukung.

Temuan ini terungkap dalam survei Sabox Populix berjudul “Indonesia AI Report 2025”. Survei itu dilakukan pada 11-25 September 2025 dengan melibatkan 1.000 responden yang tersebar di Jabodetabek, Surabaya, Medan, Makassar, Denpasar, dan Balikpapan.

Responden memiliki latar belakang pendidikan minimal SMA/SMK hingga S2, dengan proporsi gender 50:50. Dari segi usia, komposisi responden terdiri atas 50% Gen Z (18–28 tahun) dan 50% Milenial (29–44 tahun).

Mayoritas Publik Mempelajari AI Secara Otodidak

Dilihat secara rinci, ada 84 persen responden yang menjadikan media sosial dan YouTube sebagai sumber belajar AI. Diikuti 51 persen responden yang mengaku sumber pembelajaran yang mereka dapatkan berasal lainnya ada pada artikel online dan blog.

Kemudian 49 persen belajar dari media massa dan berita, teman dan kolega, dan melakukan trial and error sendiri. Sementara itu, hanya 21 persen yang belajar AI melalui kursus online maupun offline.

Minimnya keterlibatan kursus dan lembaga formal mendukung temuan bahwa pemahaman masyarakat terhadap AI terbatas pada kemampuan menengah atau hanya paham di permukaan saja.

Masyarakat lebih banyak mengidentifikasi diri sebagai pengguna AI pemula dan menengah, sebagian mengaku mahir dan hanya sedikit yang merasa ahli.

Alasan sedikitnya masyarakat yang kursus, karena membutuhkan modul dan silabus terpusat sulit mengejar ketertinggalan dari perkembangan AI yang pesat, model baru bisa saja muncul hampir setiap hari.

Menurut Managing Partner Discovery Shift sekaligus Praktisi Transformasi Digital, Rama Mamuaya, pengguna memang tak bisa hanya mengandalkan pembelajaran AI formal lewat sekolah atau perguruan tinggi.

AA1P0ufP

“Orang yang pakai gitu ya, user-nya atau consumer-nya, kalau nunggu dari belajar yang formal, misalnya dari sekolah atau dari university, enggak akan bisa kekejar karena begitu selesai kurikulumnya dibuat, udah ada 10 LLM baru yang ternyata jauh lebih powerful dari yang sedang dijelaskan di dalam kurikulum tersebut,” terangnya kepada Sabo, Jumat (26/9).

Namun, kata dia, pendidikan AI formal dapat memberikan pembelajaran soal bagaimana AI bekerja. Misalnya untuk memahami Large Language Model (LLM) dan Small Language Model (SML).

“Yang bisa diajarkan di jalur formal itu sifat-sifat apa ya istilahnya yang yang foundational-nya gitu ya. Like, itu gimana sih cara kerjanya? Apa itu LLM? Apa itu SLM? Mereka cara kerjanya itu gimana gitu loh,” imbuhnya.

Sementara itu, Communication and Digital Analyst sekaligus Eks Anggota Dewan Pers 2019-2022 Agus Sudibyo, menilai penting agar AI masuk ke kurikulum pendidikan Indonesia mulai dari sekolah dasar (SD) hingga perguruan tinggi.

AA1P0ufT

“Diajarkan di di kurikulum, di kurikulum pendidikan dasar, menengah. Terus diajarkan secara ad hoc melalui forum-forum diskusi, seminar, pelatihan, dan seterusnya,” katanya kepada Sabo.

Tak hanya kurikulum AI, Agus juga menekankan pada pentingnya mengajarkan etika dan kehati-hatian dalam memanfaatkan AI.

Mahir atau Tidak Tergantung Tempat Kerja?

Mereka yang mengidentifikasikan diri termasuk kelompok yang mahir dan ahli datang dari beberapa bidang pekerjaan. Sektor dengan mereka yang mahir dan ahli paling banyak, yakni Digital & Media meliputi pekerjaan yang berkaitan dengan Teknologi/IT, Media Berita, Media Kreatif, Seni, dan Hiburan.

Di sektor Knowledge/Regulated Services, Industrial & Resource, dan Commerce & Consumers Service dengan proporsi mahir dan ahli lebih sedikit.

Bicara soal sikap terhadap AI, kebanyakan perusahaan/organisasi memilih sikap netral terhadap AI, ada 51 persen. Yang mendukung memang lebih banyak, namun ada pula yang masih cenderung resisten terhadap AI.

Sektor Knowledge/Regulated Services dan Industrial & Resource cenderung memiliki banyak pekerja dengan kemampuan tingkat menengah, menunjukkan pendekatan yang lebih hati-hati.

Selain itu, sektor Commerce & Consumer Services menunjukkan tingkat kenetralan paling tinggi atau masih dalam fase mengevaluasi penerapan teknologi AI untuk kegiatan perusahaan.

Walaupun sektor-sektor tersebut masih berhati-hati mengadopsi AI secara penuh, ada sebagian pekerja yang tergolong mahir dan ahli meskipun tempat mereka bekerja bersikap netral atau bahkan resisten terhadap AI.

Mereka termasuk dalam publik yang mempelajari AI melalui berbagai sumber mulai dari medsos, sumber di internet, media massa, berita, teman, trial and error sendiri, maupun kursus.

Jika dikaitkan antara sikap perusahaan dengan tingkat penggunaan chatbot AI di pekerjaan, 38 persen pekerja ternyata sudah berinisiatif menggunakan AI untuk pekerjaan.

Tak hanya di perusahaan dengan sikap mendorong dan netral, 19 persen karyawan dari perusahaan yang menolak penggunaan AI ternyata tetap memanfaatkan chatbot AI dalam pekerjaannya.

Untuk penggunaan rutin, masih terbatas dilakukan mereka yang berada di perusahaan yang bersikap mendorong dan netral.

Mengapa Ada Perusahaan Belum Adopsi AI?

Sekjen Partnership Kolaborasi Riset & Inovasi Kecerdasan Artificial Indonesia (KORIKA) Sri Safitri menyebutkan, sikap netral bukan berarti penolakan terhadap AI.

“Sikap ini tentunya bukan berarti mereka menolak AI, tapi lebih kepada mereka menunggu waktu yang tepat untuk adopsi,” ujarnya kepada Sabo, Senin (29/09).

AA1P0zjP

“Banyak perusahaan lebih memilih untuk wait and see karena mereka ingin mencari dulu nih bukti-buktinya, benar enggak sih AI memberikan dampak positif bagi kompetitor sebelum mereka ikutan berinvestasi,” tambahnya

Baginya, banyak perusahaan yang bersikap netral karena industri masih menunggu kepastian regulasi, mencari teknologi yang paling tepat, sekaligus mempersiapkan internal perusahaan mulai dari sumber daya manusia hingga budaya kerja.

AA1tUKRE

“Karena mereka banyak perusahaan itu memilih netral karena regulasinya belum jelas ya, bagaimana regulasi-regulasi yang terkait seperti Undang-Undang Perlindungan data pribadi, di Indonesia juga belum ada standar,” terang Sri.

Menurutnya, saat ini, industri baru masuk ke tahap eksplorasi, masih mempelajari penggunaan AI untuk perusahaan. “Mereka masih mencoba-coba AI di skala kecil dengan pilot project, kemudian mereka mengamati, nih hasilnya gimana ya,” imbuhnya.

Baca hasil riset lengkap Indonesia AI Report 2025 di sini:

Want a free donation?

Click Here

Related Post

Tinggalkan komentar