Ringkasan Berita:
- Purbaya Tegaskan Hubungan dengan Luhut Baik-Baik Saja
- Perbedaan Pandangan Soal Dana Family Office dan INA
- Dorongan untuk Investasi yang Lebih Produktif dan Transparan
Sabo – Di tengah sorotan tajam publik dan riuhnya dinamika politik ekonomi nasional, Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa akhirnya buka suara soal hubungannya dengan Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN) Luhut Binsar Pandjaitan.
Isu keduanya sempat menjadi buah bibir setelah terekam momen tanpa sapaan dalam Sidang Kabinet Paripurna di Istana Negara, Jakarta Pusat, Senin (20/10/2025).
Momen itu memunculkan spekulasi adanya ketegangan di antara dua tokoh ekonomi penting pemerintahan.
Namun, Purbaya menepis anggapan tersebut dengan nada tegas namun tenang.
“Tapi baik hubungan saya sama dia, enggak ada masalah,” ujarnya usai rapat, seolah ingin menegaskan bahwa tak ada bara yang menyala di antara dirinya dan Luhut.
Ia bahkan menjelaskan secara rinci situasi di ruang sidang saat itu, di mana Luhut duduk di samping Menko Perekonomian Airlangga Hartarto, sementara di sisi kanan Airlangga terdapat Mensesneg Prasetyo Hadi dan Seskab Teddy Indra Wijaya.
“Kan jauh berapa kursi, masa ‘Pak Luhut, Pak Luhut’ (gestur manggil dari jauh),” katanya sambil tersenyum, mencoba mencairkan suasana di tengah ramainya isu yang beredar.
Meski demikian, perbedaan pandangan keduanya dalam urusan ekonomi memang tak bisa dipungkiri, khususnya soal pengelolaan dana investasi negara dan proyek family office.
Luhut diketahui mendorong agar pemerintah mengucurkan Saldo Anggaran Lebih (SAL) sebesar Rp50 triliun per tahun ke Indonesia Investment Authority (INA) langkah yang diyakininya bisa menjadi mesin penggerak ekonomi nasional bersama BPI Danantara.
Namun Purbaya, dengan prinsip kehati-hatian fiskal, memilih bersikap waspada. Ia menolak jika dana besar negara hanya akan berputar di instrumen pasif seperti obligasi.
“Saya enggak mau ngasih uang ke sana (INA), uangnya dibelikan bond lagi.
Buat apa? Mending saya kurangin bond saya,” ujarnya lantang di kantornya, Sabtu (18/10/2025), dikutip dari Antara.
Purbaya menegaskan, dana negara harus diarahkan ke sektor riil, ke bidang yang benar-benar menghasilkan produktivitas, bukan sekadar “memutar uang di atas kertas.”
Ia bahkan pernah mengkritik BPI Danantara karena dinilai terlalu bergantung pada investasi obligasi yang minim dampak ekonomi.
“INA kan harusnya mengundang investor asing, kan sovereign wealth fund, bukan domestik saja,” tegasnya, menggambarkan visinya agar lembaga pengelola investasi negara benar-benar menjadi magnet modal asing yang produktif dan transparan.
Dari pernyataannya, satu hal menjadi jelas: Meski hubungan personal dengan Luhut diklaim baik-baik saja, perbedaan prinsip ekonomi antara keduanya nyata adanya.
Purbaya berdiri di sisi kehati-hatian fiskal dan efektivitas penggunaan dana publik, sementara Luhut berorientasi pada percepatan pertumbuhan melalui injeksi investasi besar.
Dua arus besar pemikiran ekonomi itu kini bertemu di satu persimpangan penting tempat di mana arah kebijakan ekonomi Indonesia ke depan akan benar-benar diuji.
***
(TribunTrends/Sebagian artikel diolah dari Kompas)






