Ringkasan Berita:
- Kementerian Kehutanan (Kemenhut) menguatkan Kebijakan Satu Peta di sektor hutan.
- Kebijakan ini bertujuan menyatukan data dan peta tematik dari berbagai instansi ke dalam satu sistem referensi geospasial yang akurat.
- Maka dari itu, Kemenhut menambah dua instrumen digital, yakni SIGAP dan DSS Kehutanan ‘Jaga Rimba’.
Sabo, JAKARTA – Kementerian Kehutanan (Kemenhut) menguatkan One Map Policy atau Kebijakan Satu Peta (KSP) dengan menambah dua instrumen digital yakni Sistem Informasi Geospasial Kehutanan (SIGAP) dan Decision Support System (DSS) Kehutanan ‘Jaga Rimba’.
Kebijakan Satu Peta ini merupakan kebijakan pemerintah yang melibatkan 24 kementerian/lembaga dan 34 provinsi, serta mencakup 158 peta tematik
Kebijakan ini bertujuan menyatukan data dan peta tematik dari berbagai instansi ke dalam satu sistem referensi geospasial yang akurat.
Sehingga tercipta satu peta utuh yang menjadi acuan tunggal dalam perencanaan pembangunan, penyelesaian konflik lahan, percepatan perizinan dan efisiensi pengelolaan sumber daya alam.
Nantinya, dua sistem ini akan menjadi pondasi dalam memastikan seluruh kebijakan kehutanan berangkat dari data yang sama, valid dan bisa dipertanggungjawabkan.
“SIGAP dan DSS bukan sekadar sistem digital, melainkan simbol perubahan paradigma — dari tata kelola sektoral, menjadi tata kelola berbasis satu data kehutanan nasional,” kata Menteri Kehutanan (Menhut) Raja Juli Antoni dalam keterangan resmi Kemenhut, Senin (20/10/2025).
Sistem Informasi Geospasial Kehutanan (SIGAP) dikembangkan oleh Direktorat Inventarisasi dan Pemantauan Sumber Daya Hutan (IPSDH) di bawah Ditjen Planologi Kehutanan Kemenhut.
Sistem ini menjadi tulang punggung Informasi Geospasial Tematik (IGT) di bidang kehutanan dengan mengintegrasikan data dari berbagai unit kerja dan terhubung dalam Jaringan Infrastruktur Geospasial Nasional (JIGN) dan portal Kebijakan Satu Peta (KSP).
Sejumlah fitur utama dalam sistem ini adalah peta interaktif dan cetak digital yang memungkinkan pengguna menelusuri lapisan data kehutanan secara langsung, analisis spasial otomatis untuk mendeteksi tumpang tindih kawasan, perubahan tutupan lahan, hingga konflik tenurial.
UPT Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH) di daerah bertugas menyebarluaskan data sesuai wilayah kerja masing-masing.
Sebelum dipublikasikan ke publik, data akan lebih dulu melewati tahap penjaminan kualitas data.
Semua tahapan ini dijalankan secara digital melalui Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik (SPBE) yang menjamin keamanan dan akuntabilitas informasi.
Adapun sepanjang periode 2024–2025, SIGAP berhasil memperluas cakupan data spasial nasional dan menjadi rujukan utama perencanaan kebijakan kehutanan.
Hal ini juga menjadikan sistem geospasial ini meraih penghargaan emas Bhumandala Kanaka serta One Map Policy Competition 2024 dari Badan Informasi Geospasial (BIG).
“Kami memastikan seluruh kebijakan dan perizinan kehutanan kini berlandaskan data tunggal yang tervalidasi,” kata Direktur IPSDH Kemenhut, Agus Budi Santosa.
Kemudian pada tahun 2025, Kemenhut juga meluncurkan DSS ‘Jaga Rimba’ yang merupakan sistem keputusan berbasis data dengan mengintegrasikan informasi spasial dan nonspasial dari berbagai sumber.
Sistem ini berfungsi sebagai meja kerja digital untuk proses perencanaan, pengawasan, hingga pemberian izin berdasarkan data valid.
Sistem ini juga dilengkapi sistem peringatan dini atau early warning system berbasis AI dan data satelit dari MODIS, VIIRS, Sentinel, Landsat, dan NICFI, untuk mendeteksi dini potensi deforestasi serta memantau perubahan tutupan hutan secara berkala.
Sistem DSS juga terkoneksi dengan Sistem Monitoring Hutan Nasional (Simontana) dan Sistem Informasi Peringatan Dini dan Deteksi Dini Karhutla (Sipongi).
Dirjen Planologi Kehutanan Kemenhut, Ade Triaji Kusumah mengatakan keberadaan sistem berbasis data terintegrasi ini membuat kerja Kemenhut dalam merespons ancaman lingkungan bukan berdasarkan asumsi.
“Kita tidak lagi bekerja berdasarkan asumsi. DSS menghadirkan bukti visual dan data nyata di hadapan pengambil keputusan,” kata Ade.
Dua sistem ini merupakan pelaksanaan dari Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 58 Tahun 2025 tentang Gugus Tugas Percepatan Digitalisasi Layanan dan Konsolidasi Peta Kehutanan.
Tujuannya, agar kebijakan kehutanan menghadirkan transparansi publik, memperkecil tumpang tindih perizinan, dan memperkuat kepastian status kawasan hutan.






