Free Gift

Target Net Zero 2060! Indonesia Resmi Tetapkan Puncak Emisi 2030 Melalui LTS-LCCR

PIKIRAN RAKYAT SULTENG – Perubahan iklim adalah tantangan global yang melampaui batas negara, namun dampaknya terasa paling parah dan tidak merata, terutama bagi negara-negara di Global South.

Meskipun negara berkembang memiliki kontribusi relatif lebih rendah terhadap akumulasi emisi gas rumah kaca (GRK) secara historis, mereka sering menjadi yang paling rentan terhadap bencana terkait iklim seperti banjir, kekeringan, dan kenaikan permukaan air laut.

Dengan demikian, aksi iklim bukan hanya kewajiban moral bagi negara maju tetapi juga keharusan strategis bagi negara berkembang untuk melindungi sumber daya alam, ketahanan pangan, dan kesejahteraan penduduk mereka.

Dalam konteks ini, negara-negara di Global South termasuk Indonesia memainkan peran penting dalam mengarahkan dunia menuju masa depan yang lebih berkelanjutan dan tangguh terhadap iklim.

Indonesia memegang posisi yang sangat strategis dalam lanskap iklim global. Indonesia, yang memiliki lahan gambut tropis terbesar di Asia-Pasifik dan terbesar kedua di dunia, diberkahi dengan kekayaan alam melimpah, mulai dari hutan tropis luas dan lahan gambut kaya karbon hingga potensi signifikan untuk energi terbarukan.

Namun, kekayaan ini datang bersama tantangan yang sama besarnya: Indonesia termasuk di antara penghasil emisi GRK tertinggi di dunia, terutama dari sektor penggunaan lahan, kehutanan, dan energi. Tanpa intervensi yang kuat, emisi dari sektor-sektor ini dapat terus meningkat seiring dengan pertumbuhan ekonomi dan pembangunan perkotaan. Oleh karena itu, aksi iklim di Indonesia tidak hanya masalah tanggung jawab global tetapi juga terkait erat dengan agenda nasionalnya untuk memastikan ketahanan ekologi, sosial, dan ekonomi.

Sebagai bagian dari komitmennya pada Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC), Indonesia telah memperkenalkan Strategi Jangka Panjang Rendah Karbon dan Ketahanan Iklim (Long-Term Strategy for Low Carbon and Climate Resilience—LTS-LCCR). Dokumen strategis ini menguraikan visi jangka panjang Indonesia untuk mencapai pembangunan rendah karbon dan meningkatkan ketahanan iklim.

LTS-LCCR tidak hanya menetapkan target ambisius untuk pengurangan emisi dan adaptasi iklim, tetapi juga menekankan pentingnya prinsip keadilan, partisipasi inklusif, dan pembangunan berkelanjutan dalam setiap langkah transisi.

Dengan mengadopsi pendekatan holistik dan berbasis sains, LTS-LCCR mencerminkan bagaimana negara berkembang seperti Indonesia dapat mengambil peran kepemimpinan dalam agenda iklim global tanpa mengorbankan tujuan pembangunan nasionalnya. Dalam dekade yang menentukan ini, keberhasilan implementasi strategi ini akan menjadi ujian litmus bagi komitmen Indonesia untuk menjadi bagian dari solusi global terhadap krisis iklim yang semakin cepat. 

Kerangka LTS-LCCR: Tujuan dan Garis Waktu

 

Strategi Jangka Panjang Rendah Karbon dan Ketahanan Iklim (LTS-LCCR) Indonesia berfungsi sebagai landasan komitmen iklim bangsa di bawah Perjanjian Paris. Sebagaimana diserahkan kepada UNFCCC pada tahun 2021, kerangka strategis ini mengartikulasikan visi transisi menuju masa depan rendah karbon dan tangguh iklim melalui jalur yang inklusif, adil, dan berbasis sains.

Dokumen tersebut memaparkan lintasan emisi jangka panjang Indonesia dan mengidentifikasi tonggak utama, indikator, dan arah kebijakan yang menyelaraskan pembangunan nasional dengan tujuan iklim global. Pada intinya, LTS-LCCR bercita-cita mencapai puncak emisi gas rumah kaca (GRK) pada tahun 2030 dan mencapai Net Zero Emissions (NZE) pada tahun 2060—atau lebih cepat, bersyarat pada dukungan internasional dan kemajuan teknologi.

Tujuan utama LTS-LCCR ada tiga: (1) untuk mengurangi emisi di seluruh sektor utama sejalan dengan target iklim global, (2) untuk memperkuat ketahanan bangsa terhadap guncangan dan tekanan terkait iklim, dan (3) untuk memastikan bahwa transisi rendah karbon berkontribusi pada pembangunan yang adil dan berkelanjutan.

Tujuan-tujuan ini didukung oleh komitmen terhadap keadilan iklim, di mana beban dan manfaat transisi didistribusikan secara adil di seluruh wilayah, sektor, dan kelompok sosial. Strategi ini juga mengintegrasikan prinsip-prinsip ketahanan iklim dengan meningkatkan kapasitas adaptif dan mengurangi kerentanan, terutama di kalangan komunitas yang paling terpapar.

Pandangan mendalam mengenai peran Indonesia ini disampaikan oleh Hutomo Danu Saputro, seorang Mahasiswa Pascasarjana dari School of Environmental Science, Universitas Indonesia, melalui penerbitan oleh trendsresearch. Penulis menekankan bahwa salah satu fitur penting LTS-LCCR adalah penekanannya pada koherensi kebijakan dan integrasi lintas sektoral.

Strategi ini selaras dengan Nationally Determined Contribution(NDC) Indonesia dan agenda pembangunan nasional yang lebih luas, termasuk Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN). Lebih lanjut, ia mengakui pentingnya koordinasi antara pemerintah pusat dan sub-nasional,terutama di sektor-sektor di mana implementasi membutuhkan keterlibatan dan tindakan lokal.

Pendekatan tata kelola multi-level ini dipandang vital untuk memastikan bahwa strategi iklim bersifat spesifik konteks dan terukur. Dokumen LTS-LCCR dirancang sebagai strategi yang hidup (living strategy), responsif terhadap perubahan dalam ilmu iklim, perkembangan teknologi, dan dinamika sosial-ekonomi.

Tinjauan dan pembaruan rutin diantisipasi untuk mencerminkan sifat risiko dan peluang iklim yang terus berkembang. Pada akhirnya, LTS-LCCR mewakili visi transformatif untuk masa depan Indonesia yang menyeimbangkan tanggung jawab lingkungan dengan kemajuan ekonomi dan sosial.

Dengan menetapkan target dan garis waktu yang jelas, Indonesia menunjukkan niatnya untuk tidak hanya mematuhi perjanjian internasional tetapi juga memimpin dengan contoh di antara negara-negara berkembang. Tantangan berikutnya terletak pada menerjemahkan kerangka ambisius ini menjadi tindakan, kebijakan, dan investasi konkret yang akan mendefinisikan jalur negara menuju masa depan yang berkelanjutan dan tangguh iklim. 

Sektor Prioritas: Fokus pada Kehutanan dan Energi 

Dalam strategi iklim jangka panjangnya, Indonesia telah mengidentifikasi dua sektor prioritas yang memainkan peran penting dalam pengurangan emisi dan ketahanan iklim: kehutanan dan penggunaan lahan lainnya (Forestry and Other Land Use—FOLU) dan energi. Sektor-sektor ini tidak hanya menjadi kontributor terbesar emisi GRK negara tetapi juga menawarkan beberapa peluang paling signifikan untuk mitigasi, adaptasi, dan pembangunan berkelanjutan. Di dalam LTS-LCCR, sektor-sektor ini menjadi inti dari jalur Indonesia menuju puncak emisi pada tahun 2030 dan pencapaian net-zero pada tahun 2060 atau lebih cepat.

Sektor Kehutanan dan Penggunaan Lahan Lainnya (FOLU) menyumbang sekitar 24,5% dari total emisi GRK Indonesia. Namun, angka ini juga mencerminkan potensi besar sektor ini untuk penyerapan karbon. Indonesia adalah rumah bagi salah satu area hutan hujan tropis terbesar di dunia, di samping lahan gambut yang luas yang menyimpan sejumlah besar karbon. Ekosistem alami ini berfungsi sebagai penyerap karbon yang kritis—namun terus-menerus terancam oleh deforestasi, penebangan liar, drainase lahan gambut, kebakaran hutan, dan konversi lahan. Sebagai respons, pemerintah Indonesia menjadikan FOLU fokus utama upaya mitigasi iklimnya.

LTS-LCCR sangat menekankan target “FOLU Net Sink 2030”, yang membayangkan sektor ini menjadi penyerap karbon bersih—menyerap lebih banyak emisi daripada yang dilepaskannya—pada akhir dekade ini. Tindakan utama meliputi pengurangan deforestasi melalui tata kelola hutan yang diperkuat, peningkatan reboisasi dan penghutanan kembali, pemulihan lahan gambut yang terdegradasi, penegakan peraturan penggunaan lahan, dan implementasi perencanaan penggunaan lahan yang berkelanjutan. Inisiatif seperti Program Rehabilitasi Mangrove juga mencontohkan pendekatan terintegrasi Indonesia terhadap konservasi dan aksi iklim. Program-program ini tidak hanya berkontribusi pada penyerapan karbon tetapi juga melindungi keanekaragaman hayati, meningkatkan pengelolaan air, dan meningkatkan ketahanan masyarakat terhadap risiko iklim.

Di sisi lain, sektor energi, yang menyumbang sekitar 14% dari emisi Indonesia, mewakili sumber emisi GRK yang tumbuh paling cepat karena meningkatnya permintaan listrik, transportasi, dan kegiatan industri. Bauran energi Indonesia saat ini masih sangat bergantung pada bahan bakar fosil, terutama batu bara, yang menyumbang lebih dari separuh pembangkit listrik. Transisi ke energi terbarukan karena itu sangat penting tidak hanya untuk mencapai target iklim LTS-LCCR tetapi juga untuk memastikan ketahanan energi jangka panjang dan daya saing ekonomi.

Tantangan Implementasi dan Kesiapan Institusional 

Meskipun strategi iklim jangka panjang Indonesia (LTS-LCCR) memberikan peta jalan yang komprehensif dan ambisius untuk mencapai net-zero pada tahun 2060 atau lebih cepat, efektivitas visi ini bergantung pada implementasi praktisnya. Perjalanan dari kebijakan ke praktik penuh dengan tantangan struktural, kelembagaan, dan terkait kapasitas. Salah satu tantangan utama terletak pada koordinasi dan kapasitas kelembagaan, baik di tingkat nasional maupun sub-nasional. Implementasi LTS-LCCR memerlukan kolaborasi lintas berbagai pemangku kepentingan, termasuk kementerian, lembaga, pemerintah provinsi, dan otoritas lokal. Meskipun kemajuan telah dicapai dalam mengintegrasikan aksi iklim ke dalam rencana pembangunan, menerjemahkan rencana ini menjadi tindakan yang koheren dan dapat ditegakkan di seluruh sektor tetap menjadi hambatan besar.

Pemerintah sub-nasional, khususnya, menghadapi keterbatasan kapasitas teknis, data yang tidak memadai, dan kerangka kelembagaan yang lemah untuk menerapkan kebijakan iklim secara efektif. Peningkatan kapasitas, sistem data, dan integrasi kebijakan vertikal sangat penting untuk mengarusutamakan LTS-LCCR di tingkat regional. Hambatan signifikan lainnya adalah pendanaan. Dana publik saja tidak cukup, dan pembiayaan iklim saat ini tetap tidak memadai dibandingkan dengan skala ambisi yang ada. Anggaran nasional harus dialokasikan secara strategis untuk memberi insentif pada pembangunan rendah karbon sambil memanfaatkan mekanisme pendanaan inovatif seperti obligasi hijau, pembiayaan campuran (blended finance), dan asuransi risiko iklim. Menarik investasi sektor swasta sangat penting tetapi bergantung pada kejelasan regulasi, mekanisme pengurangan risiko, dan proyek yang bankable. Ketidakpastian kebijakan—terutama di sektor energi—merusak kepercayaan investor. 

Indonesia dalam Konteks Global: Perbandingan dengan Negara Berkembang Lainnya

Strategi iklim Indonesia, yang diwujudkan dalam LTS-LCCR, berada dalam permadani ambisi dan aksi iklim yang lebih luas di antara negara-negara berkembang. Negara-negara ini—walaupun bukan secara historis bertanggung jawab atas mayoritas emisi GRK—menjadi semakin penting dalam membentuk lintasan global menuju net zero. Sebagai anggota Global South, negara-negara seperti India, Brasil, Afrika Selatan, dan Indonesia memiliki kesamaan dalam hal prioritas pembangunan, tantangan sosial-ekonomi, dan kerentanan terhadap perubahan iklim.

Kajian yang dipublikasikan oleh trendsresearch ini menyimpulkan bahwa dibandingkan dengan India, target net-zero Indonesia pada 2060 atau lebih cepat sedikit kurang ambisius (India menargetkan 2070), namun LTS-LCCR Indonesia menawarkan visi jangka panjang yang lebih rinci, terutama dalam mengartikulasikan strategi lintas sektoral. Brasil menyajikan perbandingan yang menarik, terutama dalam konteks penggunaan lahan dan kehutanan.Kedua negara adalah rumah bagi hutan hujan tropis yang luas dan menghadapi tekanan deforestasi. Meskipun Brasil secara historis menekankan pengurangan deforestasi Amazon, Indonesia telah menunjukkan kemajuan yang konsisten dalam mengurangi laju deforestasi sejak 2016, didukung oleh moratorium dan pengelolaan hutan berbasis masyarakat. LTS-LCCR secara eksplisit menempatkan sektor FOLU sebagai pusat, menargetkan FOLU net sink pada 2030, memberikan Indonesia kedudukan komparatif yang kuat dalam upaya mitigasi berbasis lahan.

Di Afrika Selatan, diskusi tentang tanggung jawab iklim terkait erat dengan keadilan ekonomi dan inklusi sosial.Afrika Selatan berkomitmen mencapai net zero pada 2050 dengan penekanan kuat pada “transisi yang adil” (just transition) yang didukung oleh janji pembiayaan iklim internasional yang substansial, seperti JETP. Indonesia, meskipun menghadapi tantangan yang sama dalam transformasi sistem energi batu bara, juga mengejar jalur serupa melalui JETP yang ditandatangani pada KTT G20 2022. Apa yang membuat strategi LTS-LCCR Indonesia begitu unik di antara negara-negara berkembang adalah integrasinya antara ketahanan iklim dan perencanaan jangka panjang ke dalam pembangunan nasional. **Oleh karena itu, seperti yang ditekankan oleh Hutomo Danu Saputro, Mahasiswa Pascasarjana dari Universitas Indonesia, Indonesia mengukir jalur iklim yang mencerminkan keadaan nasionalnya sambil selaras dengan ambisi iklim global.***

Want a free donation?

Click Here

Related Post

Tinggalkan komentar