Free Gift

Tensi Panas Jelang Pertemuan Trump dan Xi Jinping

Sabo, JAKARTA – Presiden Amerika Serikat Donald Trump dan Presiden China Xi Jinping dijadwalkan bertemu di Korea Selatan pekan depan. Namun, menjelang pertemuan tersebut, ketegangan antara dua negara adidaya ini justru semakin meningkat.

Ketegangan memuncak pada awal Oktober, setelah Beijing memperluas pembatasan ekspor logam tanah jarang (rare earth) sebagai respons atas keputusan AS menambah daftar perusahaan yang dilarang membeli teknologi asal Negeri Paman Sam.

Langkah China ini dinilai sebagai ekspansi besar terhadap instrumen kebijakan perdagangannya dan menunjukkan niat Beijing memanfaatkan dominasinya dalam rantai pasok global. China, yang memproduksi lebih dari 90% pasokan logam tanah jarang dunia, merancang pembatasan tersebut dengan meniru aturan AS yang sebelumnya membatasi ekspor produk semikonduktor ke negara Asia.

“Ini merupakan perluasan besar dari yurisdiksi ekstrateritorial. Bahasanya sangat eksplisit, secara khusus menargetkan sejumlah chip,” ujar Cory Combs, analis di lembaga konsultasi Trivium China, dikutip dari Reuters, Kamis (23/10/2025).

Menurut sumber internal, pemerintahan Trump terkejut oleh langkah balasan China, dan pejabat AS kini tengah menanyakan dampak kebijakan itu terhadap perusahaan-perusahaan Amerika. Para analis menilai, meski Beijing berupaya menggambarkan kebijakan ekspornya terbatas, kerangka aturan tersebut telah disiapkan lama dan kemungkinan besar akan tetap diterapkan.

AS menuduh China melancarkan perang ekonomi, sementara Trump memperingatkan pertemuan puncak dengan Xi bisa batal. Padahal, beberapa pekan sebelumnya, Trump sempat memuji kemajuan pembahasan isu perdagangan, TikTok, penyelundupan fentanyl, dan perang di Ukraina setelah pembicaraan di Madrid dan panggilan telepon dengan Xi pada September.

Para analis menilai, bahkan jika pertemuan Trump-Xi berlangsung, keyakinan masing-masing pihak bahwa mereka berada di posisi lebih kuat — ditambah sikap Beijing yang semakin tegas — membuat kemungkinan tercapainya kesepakatan terbatas pada isu kecil.

“China menilai negosiasi saja tidak cukup dan langkah tandingan yang efektif terhadap AS diperlukan untuk mencegah tekanan lebih lanjut,” kata Wu Xinbo, Direktur Pusat Kajian Amerika di Universitas Fudan, Shanghai.

Wu menambahkan, langkah terbaru China mencerminkan perubahan pendekatan negosiasi ekonomi dan perdagangan dengan AS selama masa jabatan kedua Trump.

Trump Ancam Tarif 100%

Trump menegaskan masih berencana bertemu Xi di Korea Selatan pada akhir Oktober, di sela-sela pertemuan APEC, dan berharap dapat mencapai kesepakatan. Namun, dia kembali mengancam akan memberlakukan tarif hingga 100% jika pembicaraan gagal.

Sebagai upaya terakhir meredam ketegangan, Menteri Keuangan AS Scott Bessent dan Wakil Perdana Menteri China He Lifeng dijadwalkan bertemu di Malaysia dalam beberapa hari ke depan.

Pertemuan tersebut mengikuti serangkaian negosiasi keras di berbagai ibu kota Eropa — mulai dari Jenewa hingga Stockholm — yang mencakup isu perdagangan, fentanyl, akses pasar, dan komitmen ekonomi. Kedua pihak saling menuding gagal menepati janji setelah pembicaraan itu.

Seorang sumber yang memahami kebijakan Gedung Putih menyebut para pejabat senior Trump memandang langkah China terhadap ekspor logam tanah jarang sebagai perang ekonomi terbuka.

“Potensi eskalasinya sangat serius. “Tidak ada solusi cepat seperti jeda 90 hari yang pernah dilakukan sebelumnya,” ujar sumber tersebut.

Sama-Sama Percaya Diri

Michael Hart, Presiden Kamar Dagang AS di China, mengatakan salah satu tantangan utama adalah keyakinan masing-masing pihak bahwa kedua negara memiliki posisi tawar yang lebih kuat.

“Pejabat China merasa percaya diri terhadap perekonomian mereka dan melihat AS sedang dilanda kekacauan ekonomi dan politik. Karena itu, mereka merasa berada di posisi yang kuat,” ujarnya.

Namun, di sisi lain, pejabat AS justru merasa yakin kondisi ekonomi mereka lebih solid dan menilai ekonomi China sedang melemah.

Ketidakselarasan kebijakan AS terhadap China disebut semakin memperumit upaya meredakan ketegangan, di tengah kombinasi langkah hukuman dan pelonggaran terbatas terhadap ekspor chip serta kesepakatan aplikasi media sosial TikTok.

“Orang-orang yang saya temui di Washington mengatakan kebijakan pemerintahan Trump terhadap China cukup keras. Namun mereka juga mengakui, Presiden Trump sendiri terkadang lebih fleksibel dan pragmatis,” kata Hart.

Meski kedua pihak bersiap melanjutkan pembicaraan, Washington dan Beijing juga mulai memperluas strategi diversifikasi ekonomi serta menyiapkan langkah baru untuk mengurangi ketergantungan satu sama lain.

Pada awal pekan ini, Trump menandatangani pakta mineral strategis dengan Australia guna mengimbangi peran dominan China di sektor tersebut. Di sisi lain, AS juga tengah mempertimbangkan kebijakan baru untuk membatasi ekspor produk berbasis perangkat lunak.

Pejabat AS juga menyatakan pemerintah sedang menyiapkan tarif sektoral tambahan yang mencakup industri semikonduktor, farmasi, dan sektor strategis lainnya.

Sebaliknya, China diperkirakan dapat mengambil langkah balasan dengan memperketat penerapan aturan ekspor logam tanah jarang, meluncurkan penyelidikan antimonopoli terhadap perusahaan AS, atau meningkatkan tarif seperti yang dilakukan pada April lalu.

Di tengah ketidakpercayaan yang kian dalam, sebagian pejabat AS menilai skenario paling optimistis adalah kesepakatan lanjutan dari Phase One Deal tahun 2020. Kesepakatan yang mencakup pembelian kedelai atau produk pertanian lain dinilai lebih mudah dicapai.

“Skenario terbaik adalah langkah-langkah membangun kepercayaan dan arahan untuk melanjutkan negosiasi kesepakatan baru yang bisa diluncurkan pada paruh pertama tahun depan,” ujar Peter Harrell, mantan pejabat ekonomi internasional di pemerintahan Biden.

Want a free donation?

Click Here

Related Post

Tinggalkan komentar