JAKARTA, SaboSetelah dua dekade berdiri sebagai “monumen kegagalan” di ruas-ruas jalan utama ibu kota, tiang-tiang Monorel Jakarta akan dibongkar.
Hal ini menyusul keputusan pembongkaran oleh Gubernur DKI Jakarta Pramono Anung yang telah menggelar pertemuan intensif dengan PT Adhi Karya (Persero) Tbk selaku pelaksana konstruksi.
Corporate Secretary Adhi Karya, Rozi Sparta, memastikan, manajemen perusahaan sangat mendukung langkah Pemprov DKI.
Saat ini, Perseroan tengah membahas langkah pendampingan hukum dan skema final pembongkaran tiang-tiang tersebut.
Di balik dukungan ini, terdapat angka yang harus dipertanggungjawabkan: nilai aset tiang Monorel Jakarta yang dibangun Adhi Karya tercatat mencapai Rp 132,05 miliar.
“Nilai aset sekitar Rp 132,05 miliar,” usar Rozi kepada Sabo, Senin (20/10/2025).
Nilai aset ratusan miliar itu kini berada di ujung tanduk. Pembongkaran berpotensi memaksa perseroan melakukan write-off (penghapusan buku) aset tersebut, menjadikannya kerugian formal dalam laporan keuangan perusahaan.
“Monumen” Kegagalan Sejak Awal
Pakar transportasi Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Pusat sekaligus Akademisi Unika Soegijapranata, Djoko Setijowarno, memberikan pandangan kritis mengenai proyek yang sudah bermasalah sejak lama ini.
Menurut Djoko, proyek Monorel Jakarta memang sudah diramalkan tidak akan menguntungkan sejak awal.
“Waktu itu pun sebenarnya sudah banyak masukan bahwa tidak menguntungkan. Karena kan orang tuh berangkatnya dari rumah, bukan putar-putar tengah kota,” ungkap Djoko.
Keputusan untuk tetap melanjutkan proyek kala itu, lanjutnya, dilatarbelakangi keinginan untuk memiliki “monorel modern” sebagai sebuah hasrat yang mengabaikan studi kelayakan matang.
“Akibatnya, proyek mandek dan tiang dibiarkan mangkrak,” cetus Djoko.
Djoko pun setuju dengan rencana pembongkaran. Menurutnya, tiang-tiang tersebut sudah jelas mengganggu estetika kota dan semakin lama semakin mengganggu jalur transportasi di bawahnya.
“Demi estetika kota dibongkar saja,” tegas Djoko.
Konsekuensi Hukum
Meskipun pembongkaran disetujui demi estetika dan tata kota, tantangan terbesar berada pada aspek hukum.
Djoko menekankan bahwa yang terpenting adalah konsekuensi hukumnya.
Masalah Monorel sebelumnya terhenti karena adanya ketidaksepakatan mengenai siapa yang harus menanggung kerugian jika tiang dibongkar.
Ada kekhawatiran bahwa pembongkaran tanpa skema hukum yang jelas akan memicu tuntutan dari pihak yang merasa dirugikan.
“Jangan ribut lagi,” pinta Djoko, menekankan perlunya kepastian hukum dan pendampingan yang melibatkan semua stakeholder terkait.
Selain itu, muncul pertanyaan krusial, haruskah Pemprov DKI mengganti rugi aset Adhi Karya?
Djoko menyoroti bahwa pada dasarnya, ini adalah kesalahan Adhi Karya pada saat itu, merujuk pada konsorsium proyek sebelumnya, PT Jakarta Monorel (JM), yang melibatkan mereka.
Oleh karena itu, penyelesaian hukum harus menuntaskan masalah kepemilikan saham lama konsorsium yang kompleks, agar Adhi Karya sebagai entitas saat ini tidak menanggung seluruh beban hukum.
Djoko juga menyayangkan bahwa tiang-tiang Monorel Jakarta ini tidak dapat diintegrasikan sepenuhnya ke dalam pengembangan moda transportasi massal yang ada, seperti LRT Jakarta.
Meskipun sempat ada wacana jalur monorel akan dialihfungsikan, kenyataannya jalur LRT yang dibangun belakangan (seperti rute Velodrome-Manggarai) memiliki trase yang berbeda.
Infrastruktur yang sudah dibangun (tiang) tersebut pun menjadi sia-sia dan kini harus dihilangkan demi memberi ruang bagi pengembangan jalur transportasi lain yang lebih layak dan efektif.






