Suatu sore, seorang ibu tampak kesal karena anaknya menangis hanya gara-gara temannya bicara dengan nada tinggi.
“Ah, masa gitu aja nangis? Kamu tuh harus kuat!” katanya dengan nada keras.
Anaknya diam, menunduk, dan tak lama kemudian mulai menarik diri. Ia tidak mau bermain lagi.
Bagi sebagian orang tua, tangisan seperti itu mungkin dianggap berlebihan. Tapi sesungguhnya, anak tersebut bukan manja atau cengeng. Ia hanya memiliki kepribadian sangat sensitif — sebuah bentuk kepekaan tinggi yang sering disalahpahami, padahal di baliknya tersimpan potensi luar biasa.
Apa Itu Kepribadian Sangat Sensitif pada Anak?
Psikolog asal Amerika, Dr. Elaine N. Aron, pertama kali memperkenalkan istilah Highly Sensitive Person (HSP) dan Highly Sensitive Child (HSC) pada tahun 1990-an. Ia menemukan bahwa sekitar 15–20% anak di dunia memiliki sistem saraf yang lebih responsif terhadap rangsangan dari lingkungan (Aron & Aron, 1997).
Anak seperti ini mudah menangkap emosi orang lain, cepat menyadari perubahan suasana, dan memiliki empati yang tinggi. Namun, karena otak mereka memproses setiap pengalaman lebih dalam, mereka juga lebih mudah kewalahan oleh suara keras, teguran, atau tekanan sosial (Jagiellowicz et al., 2011).
Dengan kata lain, anak sangat sensitif bukan lemah — mereka hanya merasakan dunia dengan intensitas yang lebih dalam daripada kebanyakan orang.
Tanda-Tanda Anak yang Sangat Sensitif
Anak dengan kepribadian sensitif sering menunjukkan tanda-tanda berikut:
1. Peka terhadap rangsangan sensorik.
Mereka menutup telinga ketika mendengar suara keras atau tidak mau memakai pakaian tertentu karena “terasa kasar” di kulit (Maryam, 2020).
2. Memiliki empati tinggi.
Anak ini mudah menangis melihat orang lain terluka, dan sering berusaha menenangkan teman yang sedang sedih.
3. Mudah merasa kewalahan.
Di tempat ramai atau situasi penuh tekanan, mereka bisa tiba-tiba diam atau menolak berinteraksi.
4. Pemikir mendalam.
Anak sangat sensitif sering memikirkan sesuatu lama sekali, termasuk hal-hal kecil yang bagi orang lain sepele.
5. Butuh waktu untuk beradaptasi.
Mereka biasanya tidak langsung nyaman di tempat baru atau dengan orang asing. Bukan karena pemalu, tetapi karena mereka butuh waktu untuk merasa aman (Dewi, 2021).
Mengapa Anak Bisa Begitu Sensitif?
Penelitian menunjukkan bahwa sensitivitas tinggi bersifat biologis dan genetik.
Otak anak sangat sensitif memiliki aktivitas lebih besar di area insula dan amigdala, bagian yang memproses perasaan dan empati (Jagiellowicz et al., 2011).
Faktor lingkungan juga berpengaruh. Anak sensitif akan tumbuh dengan baik jika dikelilingi suasana yang tenang, penuh kasih, dan bebas dari tekanan, namun bisa menjadi cemas dan tertutup bila sering dikritik atau dibentak (Maryam, 2020).
Inilah yang membuat kepribadian sensitif disebut sebagai “differential susceptibility” — anak yang sangat peka bisa berkembang jauh lebih positif dibanding anak lain jika lingkungan mendukungnya (Pluess, 2015).
Tantangan yang Mereka Hadapi
Bagi anak sensitif, dunia kadang terasa terlalu bising dan kejam. Mereka:
Mudah merasa bersalah atau takut mengecewakan orang tua.Merasa tidak nyaman di sekolah yang penuh tekanan atau kompetisi.Sering disalahpahami sebagai anak manja atau tidak kuat mental.Cenderung overthinking, terlalu banyak memikirkan perasaan dan reaksi orang lain.
Jika tidak ada dukungan emosional yang tepat, anak dengan sensitivitas tinggi bisa tumbuh menjadi remaja yang cemas, rendah diri, dan sulit mengekspresikan perasaannya.
Namun, dengan pendampingan yang penuh kasih, mereka bisa menjadi pemimpin yang berempati, pendengar yang baik, dan pencipta karya yang bermakna.
Cara Terbaik Mendampingi Anak Sangat Sensitif
Berikut panduan sederhana bagi orang tua dan guru:
1. Terima dan validasi perasaannya.
Jangan langsung menyalahkan anak saat ia menangis atau menolak sesuatu. Katakan, “Kamu merasa tidak nyaman, ya? Tidak apa-apa.” Validasi semacam ini membantu anak belajar mengenali dan menenangkan emosinya sendiri (Dewi, 2021).
2. Hindari lingkungan yang terlalu keras.
Suasana rumah yang bising atau penuh pertengkaran bisa membuat anak sensitif stres. Ciptakan rutinitas yang tenang dan stabil.
3. Ajarkan teknik menenangkan diri.
Ajak anak melakukan napas dalam, menulis perasaan di jurnal, atau menggambar ketika ia marah atau sedih.
4. Beri waktu untuk adaptasi.
Jangan memaksa mereka langsung akrab dengan orang baru. Beri waktu dan pendampingan sampai mereka merasa nyaman.
5. Bangun rasa percaya diri.
Tekankan bahwa kepekaan mereka adalah keunikan, bukan kekurangan. Pujilah usaha, empati, dan ketulusan mereka.
Potensi Luar Biasa di Balik Kepekaan
Anak dengan sensitivitas tinggi sering kali memiliki imajinasi yang kaya, kemampuan observasi tajam, dan intuisi yang kuat. Banyak seniman, penulis, dan ilmuwan besar diyakini memiliki sifat ini karena mereka mampu menangkap makna di balik hal-hal kecil.
Penelitian Pluess (2015) menemukan bahwa anak dengan tingkat sensitivitas tinggi merespons positif secara signifikan terhadap pola asuh penuh kasih, bahkan lebih baik dibanding anak yang tidak sensitif. Artinya, dukungan yang tepat bisa mengubah kepekaan menjadi kekuatan.
Di masa depan, dunia justru membutuhkan lebih banyak orang yang seperti mereka — yang mampu merasakan, mendengar, dan memahami. Di tengah era yang dipenuhi kecepatan dan kebisingan, mereka adalah pengingat bahwa empati masih penting.
Penutup: Dari Anak Sensitif Jadi Pribadi yang Tangguh
Jika kamu punya anak yang mudah menangis, mudah tersentuh, atau sulit beradaptasi, jangan terburu-buru menyebutnya “lemah”. Ia mungkin sedang belajar menghadapi dunia dengan hatinya yang halus.
Sebagai orang dewasa, tugas kita bukan membuatnya “lebih keras”, tetapi membantunya menemukan keseimbangan antara kepekaan dan keteguhan hati. Karena pada dasarnya, anak sangat sensitif bukanlah beban — mereka adalah hadiah lembut bagi dunia yang sering kali terlalu keras.






