Sabo — Tiongkok kini mengadopsi strategi yang selama ini menjadi ciri khas kebijakan dagang Amerika Serikat (AS). Dalam langkah balasan terhadap tekanan perdagangan terbaru dari Washington, Beijing menerapkan aturan ekspor yang meniru instrumen hukum AS, memberi sinyal bahwa persaingan dua ekonomi terbesar dunia telah memasuki babak baru yang lebih sistematis.
Langkah ini melibatkan perluasan pengendalian ekspor atas unsur tanah jarang (rare earths), bahan vital bagi industri teknologi global. Untuk pertama kalinya, Tiongkok mewajibkan perusahaan asing memperoleh izin pemerintah sebelum mengekspor produk yang mengandung material asal Tiongkok atau menggunakan teknologi asal negeri itu.
Dilansir dari AP News, Rabu (22/10/2025), kebijakan itu mewajibkan perusahaan asing meminta izin ekspor dari Beijing jika produk mereka mengandung material tanah jarang atau teknologi asal Tiongkok. Misalnya, produsen ponsel di Korea Selatan harus memperoleh persetujuan sebelum menjual ke Australia.
Jamieson Greer, perwakilan perdagangan AS, menyebut langkah ini “memberi Tiongkok kendali atas hampir seluruh rantai pasok global di sektor teknologi”.
Bagi banyak pengamat, strategi tersebut mencerminkan penerapan kebijakan foreign direct product rule milik AS, yakni aturan yang memperluas yurisdiksi hukum Washington terhadap produk buatan luar negeri yang tetap mengandung teknologi AS. Dengan kata lain, Beijing kini membalas menggunakan pendekatan yang sama.
Neil Thomas, peneliti di Asia Society Policy Institute, menilai langkah itu sebagai cerminan pembelajaran strategis. “Tiongkok sedang belajar dari yang terbaik,” ujarnya.
“Beijing meniru buku main Washington karena telah melihat secara langsung betapa efektifnya kontrol ekspor AS membatasi perkembangan ekonomi dan pilihan politiknya,” lanjutnya.
Akar kebijakan tersebut dapat ditelusuri ke tahun 2018, ketika Presiden Donald Trump memulai perang dagang dengan Tiongkok. Kala itu, Beijing segera menyiapkan perangkat hukum serupa milik AS, seperti Unreliable Entity List pada 2020 dan Undang-Undang Anti-Sanksi Asing pada 2021, dua instrumen yang mencerminkan entity list dan mekanisme pembekuan aset milik Washington.
Tahun ini, saat Trump kembali menerapkan tarif tambahan terhadap produk asal Tiongkok, Beijing dengan cepat merespons. Pemerintah menempatkan sejumlah perusahaan AS, termasuk PVH Group, pemilik merek Calvin Klein dan Tommy Hilfiger, serta Illumina, ke dalam daftar entitas tidak andal. Selain itu, ekspor atas logam penting seperti tungsten, tellurium, molybdenum, dan indium juga dibatasi, langkah yang berdampak langsung pada rantai pasok industri global.
Meski langkah tersebut memperkuat posisi tawar Tiongkok, sejumlah analis memperingatkan adanya risiko eskalasi. Jeremy Daum, peneliti senior di Yale Law School, menilai bahwa strategi saling membalas ini bisa menjadi bumerang.
“Bahaya dari pendekatan yang tampak seimbang ini adalah ketika satu pihak menganggapnya sebagai timbal balik, pihak lain bisa menafsirkannya sebagai provokasi. Dalam perlombaan menuju dasar, tidak ada yang menang,” ujarnya.
Bagi Tiongkok, strategi ini merupakan upaya untuk menegaskan otonomi dalam sistem perdagangan internasional, sementara bagi AS, langkah Beijing menunjukkan bahwa kebijakan ekspor dan sanksi kini bukan lagi monopoli Washington.
Dalam konteks global, kedua negara kini mengubah arena perang dagang menjadi pertarungan regulasi dan teknologi lintas batas, dengan dampak yang akan dirasakan jauh melampaui batas ekonomi keduanya. (*)






