PR KUNINGAN — Indonesia menjadi anomali global terkait bahan karsinogenik. Lebih dari 70 negara berhasil menerbitkan larangan penggunaan asbes, namun konsumsi bahan berbahaya ini justru terus melonjak tajam.
Manajer Kampanye dan Pendidikan Local Initiative for Occupational Safety and Health Network (LION Indonesia), Ajat Sudrajat, menegaskan kondisi tersebut sebagai tragedi nyata antara keuntungan industri dan keselamatan publik.
“Di saat lebih dari 70 negara di dunia telah menerbitkan larangan penggunaan asbes karena risiko kankernya, Indonesia justru menjadi salah satu dari segelintir negara yang konsumsi bahan karsinogen ini terus meningkat,” ungkapnya.
Kondisi ironis ini menjadi fokus utama kampanye Local Initiative for Occupational Safety and Health Network (LION Indonesia). Dikatakan Ajat, pekerjaan NGO-nya kini fokus kampanye bahaya asbes bagi masyarakat industri dan mendorong lahirnya perlindungan bagi pekerja. “Ibarat Tragedi Ekonomi vs Kesehatan,” di mana keuntungan industri dipertukarkan dengan nyawa masyarakat.
“Padahal WHO telah menyatakan bahwa paparan asbes sangat membahayakan. Tapi kenapa di Indonesia masih bebas-bebas saja, dan tidak banyak informasi mengenai bahaya asbes terhadap masyarakat,” sahut dia!
Ajat memaparkan data-data miris tersebut dalam Workshop & Beasiswa Liputan Investigasi yang digelar LION Indonesia di Bandung, Jawa Barat, Kamis 23 Oktober 2025.
Konsumsi Tinggi, Regulasi Longgar
LION Indonesia mencatat bahwa tren penggunaan asbes secara global, terutama di negara-negara maju seperti Eropa, telah menurun drastis sejak temuan bahwa asbes putih (krisotil) sekalipun dapat menimbulkan penyakit mematikan seperti kanker. Namun, di Indonesia, situasinya berbanding terbalik.
Indonesia menempati peringkat ke-5 di dunia sebagai negara konsumen asbes tertinggi pada tahun 2022, dengan konsumsi mencapai 104.000 ton. Bahan baku asbes ini, yang mayoritas diimpor dari negara-negara seperti Rusia, Tiongkok (Cina), dan Brazil, masuk ke Indonesia dengan regulasi yang sangat longgar.
“Catatan kami, setidaknya terdapat 27 industri yang memproduksi produk mengandung asbes di Indonesia. Hampir 95% bahan baku asbes digunakan sebagai campuran produk konstruksi. Akibatnya, pada tahun 2024, sekitar 13,32% rumah tangga di Indonesia masih menggunakan atap asbes,” urai Ajat.
Lantas, dibandingkannya dengan kasus di Australia, sebagai negara yang telah menerbitkan peraturan larangan asbes sejak tahun 2003, namun kini masih harus menangani lebih dari 3.000 kasus penyakit terkait asbes setiap tahun. Ini menunjukkan bahwa bahaya paparan asbes memiliki efek laten dan jangka panjang.
Bahkan, di tingkat lokal, Dinas Perumahan dan Pemukiman Jawa Barat (Disperkim Jabar) telah menyatakan bahwa konstruksi sebuah rumah yang didominasi asbes dapat dikategorikan sebagai rumah tidak layak huni.
Advokasi dan Hambatan Politik
Sebagai lembaga nirlaba (NGO), LION Indonesia intens melakukan sosialisasi, kampanye, dan pelatihan kepada para pekerja dan penyintas yang terdampak. Disebutkan Ajat, program ini meliputi pelatihan penghapusan asbes yang aman untuk pekerja konstruksi dan relawan bencana.
Fokus advokasi utama LION Indonesia adalah perlindungan dan keselamatan pekerja. Dan, mendorong adanya regulasi kompensasi yang adil bagi pekerja dan masyarakat terdampak asbes,” tukasnya.
LION Indonesia telah melakukan audiensi dengan kementerian terkait, termasuk Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) serta Kementerian Kesehatan. Namun, Ajat menyayangkan minimnya dukungan dari dua kementerian penting. Bahwa, Kementerian Perdagangan dan Perindustrian, yang dinilai kurang respek terhadap masalah bahaya asbes ini.
Sikap abai ini memunculkan pertanyaan kritis dari LION, “apakah kepemilikan dari 27 industri asbes di Indonesia memiliki kedekatan dengan elite politik, sehingga kebijakan pelarangan menjadi sulit diwujudkan,” seru dia!
Padahal, secara global, sekitar 219.000 kematian pada tahun 2016 (atau 63% dari seluruh kematian akibat kanker yang teratribusi dalam pekerjaan) terkait dengan asbes. Data ini menegaskan bahwa kebijakan penggunaan asbes di Indonesia merupakan sebuah “Tragedi Ekonomi vs Kesehatan” yang nyata.
Ditegaskannya, bahwa satu-satunya solusi permanen terhadap penyakit akibat asbes adalah menghentikan sepenuhnya penggunaan semua jenis asbes (termasuk krisotil) di Indonesia.
“Indonesia harus menyusul 72 negara di dunia yang sudah melarang asbes. Masyarakat industri harus menyadari bahwa ini bukan hanya masalah ekonomi, tetapi masalah hidup dan mati,” tandasnya.
LION Indonesia yang terus mengintensifkan kampanye bahaya asbes, demi memperjuangkan hak keselamatan dan kompensasi bagi masyarakat yang telah terdampak.***






