Sabo– Pemerintah resmi memperbolehkan pelaksanaan umrah secara mandiri tanpa melalui biro perjalanan umrah (PPIU).
Aturan baru ini tertuang dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2025 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 mengenai Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah (UU PIHU).
Meski dianggap membuka kemudahan bagi masyarakat yang ingin beribadah ke Tanah Suci, kebijakan ini justru menuai penolakan dari 13 asosiasi penyelenggara haji dan umrah di Indonesia.
Mereka menilai aturan “umrah mandiri” berpotensi menimbulkan sejumlah masalah serius, baik dari sisi perlindungan jemaah maupun stabilitas ekonomi umat.
Umrah mandiri resmi diatur dalam UU baru
Dalam UU PIHU terbaru, Pasal 86 menyebutkan bahwa perjalanan ibadah umrah kini dapat dilakukan melalui tiga cara:
- Melalui Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU),
- Secara mandiri, atau
- Melalui Menteri, jika terjadi keadaan luar biasa atau kondisi darurat.
Ketentuan ini menjadi perubahan besar dibanding UU sebelumnya, di mana umrah hanya dapat dilakukan lewat PPIU atau pemerintah.
5 syarat umrah mandiri
Selain itu, Pasal 87A mengatur lima syarat yang harus dipenuhi jemaah untuk dapat berangkat secara mandiri, antara lain:
- Beragama Islam,
- Memiliki paspor yang masih berlaku minimal 6 bulan,
- Memiliki tiket pesawat pergi-pulang ke Arab Saudi,
- Memiliki surat keterangan sehat dari dokter, dan
- Memiliki visa serta bukti pembelian paket layanan dari penyedia resmi melalui sistem informasi Kementerian.
Sementara itu, Pasal 88A memberikan dua hak utama bagi jemaah umrah mandiri, yaitu memperoleh layanan sesuai perjanjian dengan penyedia, serta hak melaporkan kekurangan
Penolakan dari 13 asosiasi umrah
Sebelum aturan ini disahkan, sebanyak 13 asosiasi haji dan umrah telah menyatakan penolakan terhadap rencana legalisasi umrah mandiri.
Penolakan itu disampaikan pada 18 Agustus 2025 saat mereka menyerahkan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) kepada Presiden PKS Almuzammil Yusuf di Kantor DPP PKS, Jakarta Selatan.
Juru bicara asosiasi, Firman M. Nur, yang juga Ketua Umum AMPHURI (Asosiasi Muslim Penyelenggara Haji dan Umrah Republik Indonesia), mengatakan bahwa umrah mandiri berisiko besar merugikan jemaah.
“Perjalanan ibadah umrah tidak bisa disamakan dengan perjalanan luar negeri biasa,” ujar Firman.
Menurutnya, banyak aspek teknis dan spiritual dalam perjalanan umrah yang membutuhkan pendampingan dan pengetahuan khusus. Tanpa bimbingan PPIU, jemaah berisiko menghadapi kesulitan administratif, kehilangan perlindungan hukum, bahkan potensi penipuan.
Kekhawatiran ekonomi dan dominasi marketplace asing
Selain soal perlindungan jemaah, asosiasi juga menyoroti dampak ekonomi dari kebijakan ini. Muhammad Firman Taufik, juru bicara Tim 13 Asosiasi, menilai aturan umrah mandiri bisa mengancam ekosistem ekonomi umat yang telah lama terbentuk.
“Umrah mandiri berpotensi membuka peluang besar bagi marketplace global menguasai pasar jemaah Indonesia,” tegasnya.
Ia menambahkan, hal tersebut bisa mengakibatkan kebocoran ekonomi ke luar negeri dan mematikan peran para pelaku usaha dalam negeri yang selama ini menjadi mitra resmi penyelenggara umrah.
Asosiasi pun mendesak pemerintah agar meninjau ulang kebijakan ini dan lebih berpihak pada pelaku usaha nasional dalam semangat bela dan beli produk Indonesia.
Antara kemudahan dan risiko
Meski memberi keleluasaan bagi masyarakat yang ingin beribadah tanpa perantara, kebijakan umrah mandiri juga membawa tantangan baru dalam hal pengawasan, keamanan, dan keberlanjutan industri perjalanan religi.
Pemerintah kini dihadapkan pada tugas besar untuk memastikan sistem informasi, perlindungan jemaah, dan standar pelayanan benar-benar siap sebelum pelaksanaan umrah mandiri diterapkan secara luas.
Sementara itu, pelaku industri berharap agar dialog terbuka antara pemerintah dan asosiasi terus dilakukan, agar kemudahan beribadah tidak mengorbankan keselamatan dan kesejahteraan umat.






