MUHAMMAD, S.Pd., M.Pd., Wakil Dekan I Fakultas Agama Islam Universitas Islam Kebangsaan Indonesia (FAI Uniki) dan Plt. Pimpinan Pesantren Mahasiswa Jamiah Kebangsaan, Bireuen, melaporkan dari Bireuen
Di tengah gegap gempita persaingan perguruan tinggi di Aceh dari kampus besar yang berdiri dengan sejarah panjang hingga universitas yang menopang diri dengan jaringan organisasi nasional hadir sebuah kampus muda yang memilih jalan berbeda. Universitas Islam Kebangsaan Indonesia (Uniki) di Bireuen, yang lahir dari denyut semangat kebangsaan dan ruh keislaman, berani menantang arus dengan identitas yang tidak lazim bagi kampus seusianya: Kampus Islami-Entrepreneur Digital.
Langkah ini bukan sekadar strategi pemasaran, melainkan deklarasi arah masa depan. Uniki tidak ingin sekadar menjadi pengikut dalam keramaian dunia pendidikan tinggi, tetapi tampil sebagai pelopor yang menyalakan obor baru.
Jika banyak kampus lain masih sibuk berkisah tentang kejayaan masa lalu atau membanggakan kekuatan jaringan yang telah mapan, Uniki justru menatap ke depan. Ia menawarkan visi yang lebih segar: mencetak generasi muda Aceh yang teguh dengan karakter islami, tangguh sebagai entrepreneur halal, dan lincah di medan literasi digital. Inilah tawaran baru yang mengejutkan sekaligus menggugah: sebuah kampus muda yang berani berkata, “Kami tidak sekadar hadir untuk mencetak sarjana, kami hadir untuk melahirkan peradaban baru di Aceh.”
Pembinaan akhlak
Langkah berani Uniki dimulai dari Pesantren Mahasiswa. Bukan sekadar asrama, melainkan kawah candradimuka pembinaan akhlak dan kedisiplinan. Di tempat ini mahasiswa belajar bahwa gelar akademik tanpa karakter hanyalah kertas kosong.
Di pesantren ini, nilai-nilai islami ditempa menjadi gaya hidup. Shalat berjemaah, kajian kitab, dan pembiasaan etika pergaulan, semua itu membentuk pribadi tangguh. Inilah diferensiasi Uniki: kampus yang tidak sekadar mencetak “manusia kerja”, tetapi juga manusia beradab.
Karakter islami
Aceh dikenal sebagai Serambi Makkah, tetapi tantangan moral generasi muda kian nyata: dekadensi etika, budaya instan, hingga arus hedonisme global. Uniki sadar, tanpa fondasi karakter islami, kecerdasan hanyalah pisau tanpa sarung.
Karakter islami di Uniki bukan jargon. Ia adalah kompas moral: membiasakan kejujuran dalam riset, disiplin dalam menepati waktu, dan empati dalam pengabdian. Inilah perisai yang akan menjaga mahasiswa tetap tegak menghadapi gelombang zaman.
Entrepreneur halal
Dunia sedang bergerak ke arah ekonomi halal. Dari makanan, fesyen, hingga keuangan syariah. Pasar ini tumbuh pesat dan menembus batas negara. Aceh dengan keistimewaan Qanun Syariat Islam seharusnya menjadi episentrum, bukan sekadar penonton. Uniki menangkap
peluang ini. Mahasiswa dididik tidak hanya menguasai teori bisnis, tetapi juga dilatih membuka usaha halal, mengelola koperasi syariah, dan berinovasi dengan produk islami.
Lulusan Uniki ditargetkan setamat kuliah bukan sekadar mencari kerja, tetapi mencipta kerja. Jika konsisten di ranah ini, Uniki bisa menjadi mesin penggerak ekonomi halal di Aceh. Kampus ini tidak saja tempat belajar, tapi juga inkubator pengusaha islami.
Literasi digital
Generasi Z hidup di dunia digital. Namun, tanpa literasi, mereka mudah terseret arus hoaks, adiksi media sosial, bahkan disinformasi yang merusak nalar. Di sinilah Uniki menancapkan pilar ketiga: literasi digital islami.
Mahasiswa tidak hanya diajak melek teknologi, tetapi juga menjadi kreator. Mereka belajar menulis opini islami di media online, membuat konten dakwah di platform digital, hingga mengembangkan strategi digital marketing untuk produk halal.
Dengan ini, dakwah tidak lagi terbatas di mimbar masjid. Ia merambah ke layar gawai, menembus batas ruang dan waktu. Generasi Uniki diajarkan menebar nilai Islam dengan bahasa digital yang segar dan elegan.
Membaca peta
Universitas Almuslim punya sejarah panjang, Unigha meraih akreditasi institusi “Baik Sekali”, Universitas Muhammadiyah Aceh ditopang jaringan besar Muhammadiyah. Semua punya keunggulan. Namun, Uniki berbeda. Ia tak menggantungkan diri pada sejarah atau jaringan, melainkan membangun identitas unik.
Di saat kampus lain sibuk mengejar pengakuan administratif, Uniki sedang menyiapkan generasi yang akan mengubah wajah Aceh: Islami, halal, digital. Diferensiasi inilah yang membuat Uniki punya peluang tampil di panggung nasional.
Ke gerakan nyata
Tentu, semua ini tidak boleh berhenti pada spanduk atau brosur penerimaan mahasiswa baru saja. Identitas Islami-Entrepreneur Digital harus benar-benar menjelma sebagai sebuah Gerakan nyata di dalam kampus. Uniki dapat menanamkan nilai ini ke dalam denyut kehidupan akademiknya dengan cara menjadikannya bagian dari kurikulum, sehingga setiap mahasiswa sejak awal sudah terbiasa mengikuti pembelajaran karakter, kewirausahaan halal, dan literasi digital.
Identitas itu juga mesti diwujudkan dalam bentuk karya nyata, di mana mahasiswa tidak hanya belajar di kelas, melainkan melahirkan produk inovatif mulai dari usaha halal yang dirintis, artikel islami yang diterbitkan, hingga konten digital yang mencerahkan ruang publik.
Lebih jauh, setiap pengalaman belajar ini sebaiknya diakui secara resmi melalui sertifikasi kompetensi yang tercatat dalam SKPI, sehingga mahasiswa tidak hanya lulus dengan mengantongi ijazah, tetapi juga membawa bekal keterampilan yang terukur. Untuk semakin kuat, Uniki juga dapat memperluas jangkauan identitas ini melalui kemitraan dengan berbagai pihak, baik bank syariah, industri halal, maupun platform digital.
Dengan langkah-langkah tersebut, Uniki bukan hanya akan dikenal sebagai kampus yang mendidik, melainkan juga sebagai institusi yang benar-benar membentuk peradaban baru di Aceh.
Tantangan global
Namun, perjalanan ini tentu tidak mudah. Dunia pendidikan tinggi kini ditantang oleh dua arus besar: globalisasi dan digitalisasi. Mahasiswa dituntut tidak hanya cerdas di ruang kelas, tetapi juga adaptif dalam dunia kerja yang kian kompleks.
Uniki, dengan identitas Islami-Entrepreneur Digital, dapat menjawab tantangan itu dengan menyiapkan mahasiswa yang sanggup berkompetisi di kancah global tanpa kehilangan jati diri keislaman dan keacehannya.
Mahasiswa Uniki harus disadarkan bahwa mereka bukan sekadar penerima ilmu, melainkan agen perubahan. Di pundak mereka ada amanah besar untuk membawa Aceh berdiri sejajar dengan daerah lain, bukan dengan cara meniru, melainkan dengan menghadirkan kekhasan: Islam yang moderat, ekonomi halal yang kokoh, dan literasi digital yang maju.
Panggung nasional
Di tengah persaingan perguruan tinggi, keberanian untuk tampil berbeda adalah kunci. Uniki telah menemukannya: identitas sebagai Kampus Islami-Entrepreneur Digital. Identitas ini bukan sekadar strategi promosi, tetapi jawaban atas kebutuhan zaman: generasi muda yang teguh karakternya, berani berwirausaha halal, dan piawai menguasai dunia digital. Dan, seperti sebuah deklarasi yang menutup semua gagasan ini: Jika kampus lain berkompetisi lewat jaringan dan sejarah, Uniki bisa melangkah dengan identitas baru: membangun generasi muda Aceh yang islami, berjiwa entrepreneur halal, dan melek digital. Inilah diferensiasi yang bisa mengangkat Uniki ke panggung nasional.






