
Bukan. Ini bukan tentang simpatisan klub bola di Jawa Barat. Tulisan ini ingin ~pamer~ berbagi cerita perjalanan sikil ginuk ginuk saya ke negeri nun jauh di perbatasan Kutub Utara sana. Salah satu kampung Bangsa Viking, Swedia.
Viking kok selow? Penikmat sinetron Viking di layanan streaming berbayar tentu agak sulit mengasosiasikan kedua kata tersebut. Viking, selow. Sangat tidak berkelindan. Viking lekat dengan imaji masyarakat yang gagah, tangguh, garang, suka berperang, ahli membuat kapal, penyembah Odin, Thor dan Freja. Valkyrie, Valhalla. Selow. Selow?
Viking mana yang selow? Bagaimana bisa garang nek uripmu selo, King, Viking?

Lagom-Hidup Cukup
Satu millennium sejak era pagan berlalu, wangsa Ragnar Lothbrok kini menganut falsafah hidup baru. Lagom. Hidup cukup. Artinya, dalam menjalani hidup tidak perlu berlebih-lebihan, dan juga tidak sampai kekurangan. Cukup. Kira-kira mirip dengan falsafah hidup Jawa, Samadya, di tengah-tengah. Tidak lebih, tidak kurang. Cukup.
Filosofi ini mendorong orang-orang di Swedia tidak terlalu ngoyo dalam menjalani keseharian. Memberi ruang pada diri sendiri untuk menikmati hidup, dan sadar akan dunia di sekelilingnya. Hidup tidak melulu ngos-ngosan dikejar deadline, berburu validasi atau pamer pencapaian. Terkadang, hidup juga sesederhana ~cuti dibayar selama 6 minggu~ mensyukuri sinar mentari selagi bisa dan bersahabat dengan alam.

Jantelagen
Falsafah berikutnya yang mendukung ke-selo-an anak-cucu Odin bernama Jantelagen atau Hukum Jante. Singkatnya, falsafah ini mendorong individu untuk senantiasa mawas diri, karena keberadaannya tidak lebih baik atau tidak lebih istimewa dari orang lain.
Falsafah ini mendorong mereka tidak rungsing pamer pencapaian, meskipun ~bertampang rupawan bak Alexander Skarsgård~ penemuan dan inovasinya berjasa menyelamatkan banyak nyawa seperti alat pacu jantung dan three-point seatbelt; atau mendekonstruksi pola bisnis industri musik global macam Spotify. Iya, aplikasi pendamping galau dan bahagiamu itu buatan Swedia, bukan Amriki.
Falsafah hidup ini mirip-mirip dengan nasihat yang saya ingat sedari kecil di Bali. Sebait larik di Pupuh Ginada dengan makna mendalam, “Eda ngaden awak bisa, depang anake ngadanin”. Jangan menganggap diri sudah pandai, biarkan orang lain yang menilai.
Menariknya, falsafah ini juga mendorong individu-individu di sana untuk terus belajar, terus mengembangkan diri. Karena, ya, dorongan untuk mawas diri, blending-in tadi. Jika lingkunganmu terus-menerus belajar dan berinovasi, maka ikutilah, jangan beda sendiri. Pun tak perlu insecure membanding-bandingkan diri dengan pencapaian orang lain. Cukup fokus pada tujuan diri sendiri.
Saya curiga, mungkin ini sebabnya tidak banyak yang tahu, kalau benda sakti mandraguna yang digunakan di berbagai penjuru dunia bernama resleting (zipper) itu hasil penemuan Swedia.
Ya tho? Pemirsa juga baru tau tho?

Fika
Nah, ini. Kalau ini saya relate-nya cepat, karena berkaitan dengan hal yang saya suka, ngopi dan ngaso. Fika adalah tradisi istirahat -seringkali di sore hari- sembari minum kopi ditemani setangkup kanelbulle (roti gulung kayu manis) atau kue dan roti manis lainnya.
Fika menjadi momen dimana para individu saling berbagi cerita dengan teman, kolega dan kerabatnya tentang apa saja atau pengalaman mereka di hari itu. Fika menjadi sarana sosialisasi untuk melepas penat setelah seharian berjibaku dengan rutinitas, ataupun sarana sosialisasi untuk berkenalan dengan orang baru. Atau, enjoying your own company.
Eits, jangan salah. Di Swedia, bukan hal aneh jika orang-orang duduk sendiri di kafe, entah hanya sekedar menikmati matahari, musik, atau membaca buku. Tidak melulu berlindung di balik gawai dan laptop. Tapi untuk Fika, lebih berkesan sebagai sarana bersosialisasi bersama teman.
Fika juga membantu saya untuk berkomunikasi lebih baik dengan sesama diplomat asing yang bertugas di Stockholm, ataupun dengan counterpart lainnya. Terkadang, rapat formal di kantor atau secara virtual membangun batasan komunikasi. Fika adalah jalan ~ninja~ viking untuk menjembatani batasan tersebut.

Midsommar
Jangan percaya film Hollywood itu!
Midsommar merupakan festival yang menandai summer solstice atau hari terpanjang dalam setahun. Midsommar biasanya jatuh pada minggu keempat Bulan Juni. Midsommar ini semacam lebaran musim panasnya orang-orang Swedia.
Suatu hari di Midsommar, saya memutuskan untuk jalan-jalan di tengah kota, alih-alih ke pusat perayaan festival. Kosong. Jalanan kota lengang. Bar dan Kafe sebagian tutup, sebagian hanya buka setengah hari, dan sepi pengunjung.
Tahun berikutnya, saya tidak mau ketinggalan. Saya mengikuti festival Midsommar di Vaxholm, salah satu pulau terluar di Provinsi Stockholm, satu jam berlayar dari ibukota. Sesampainya di sana, orang-orang sudah berkumpul mengenakan mahkota bunga, berdiri melingkari maypole atau tiang kesuburan yang sebentar lagi akan ditegakkan.
Segera setelah penegakan maypole, pembawa acara dari komunitas warga setempat memberi aba-aba untuk orang-orang saling berpegangan tangan, menari, sembari menyanyikan lagu khas Midsommar yaitu….kodok ngorek. Iya, kodok ngorek. “Kodok ngorek-kodok ngorek, ngorek di pinggir kali…”
Nada lagu yang dinyanyikan bersama-sama itu sama persis dengan lagu anak-anak Indonesia tentang kodok di waktu hujan. Tema lagunya? Sama juga. Tentang små grodorna, kodok kecil yang ngorek dan terlihat lucu. Oh, dan setiap puncak perayaan Midsommar pasti hujan.
Setelah Midsommar, maka dimulailah libur musim panas yang lamanya dua bulan itu. Tidak hanya untuk pelajar, tapi juga pekerja. Selow tenan!
Bagaimana, selo sekali bukan, viking-viking millennial ini?
Saya penasaran, bagaimana mereka bisa secara ajeg menjalankan falsafah hidup selow di tengah kancah persaingan global yang semakin membuncah ini.
Jawabannya: berteman dengan waktu. Semua ada waktunya, ada porsinya, secara rinci, teratur dan tepat.
Oh, dan negara hadir memberikan jaminan sosial lewat redistribusi pajak dan alokasi dana pensiun secara tepat, akuntabel dan transparan, sehingga setiap individu dapat mengembangkan diri sesuai aspirasi karir masing-masing, tidak melulu menjadi pegawai. But that’s for another day, I guess.
Hej då!






