KORAN-PIKIRAN RAKYAT – Munculnya istilah umrah mandiri dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2025 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah (PIHU) menimbulkan kegelisahan bagi sebagian besar pelaku usaha haji umrah di Indonesia. UU tersebut melegalkan umrah mandiri dan dinilai bisa menimbulkan risiko besar. Betulkah?
Mieke Rubiyanti menceritakan, untuk pertama kalinya mencoba perjalanan umrah mandiri pada Ramadan tahun ini. Ia berangkat bersama empat orang teman dan kakaknya untuk mencicipi ibadah puasa di Tanah Suci.
“Saya sudah sering umrah bersama agen travel yang rombongannya besar. Nah, tahun ini ada kenalan yang bisa bantu untuk umrah mandiri, jadi saya mencobanya. Alhamdulillah, ternyata lebih nyaman umrah mandiri karena bisa menentukan tujuan sendiri dan ibadah juga lebih leluasa karena enggak perlu menunggu rombongan dalam jumlah besar,” tutur Mieke, Jumat 24 Oktober 2025.
Kendati mandiri, kata Mieke, rombongan tetap dibimbing seorang ketua yang terbiasa mengurusi perjalanan umrah mandiri. Sang ketua rombongan ini yang mengurus antara lain visa, tiket pesawat, dan hotel.
Dengan jejaring yang sudah dibangun ketua rombongan, Mieke bisa mendapat pengalaman yang berbeda jika dibandingkan perjalanan-perjalanan umrah sebelumnya. Mieke bahkan bisa menentukan destinasi selain Mekah dan Madinah untuk dikunjungi.
Selain itu, dengan jumlah anggota rombongan yang sedikit, mengaturnya jadi lebih mudah. Semua orang, kata Mieke, bisa sat-set dan kompak. Ibadah juga bisa bersama dan tidak perlu saling menunggu lama.
Terkait dengan biaya, Mieke bersyukur karena bisa ditentukan berdasarkan harga tiket pesawat. Tak hanya itu, dengan umrah mandiri, Mieke tidak dibebankan beban biaya lain, seperti koper dan seragam rombongan.
“Biasanya, kalau umrah Ramadan mahal. Alhamdulillah tahun ini saya dapat murah. Soalnya, saya mampir ke Turki dulu, baru ke Mekah, jadi harga tiket pesawatnya bisa diatur. Hal fleksibel seperti ini yang bikin nyaman dan pengin lagi umrah mandiri,” ungkap Mieke.
Salah seorang pegiat umrah mandiri lainnya, Nurdan Firmansyah menjelaskan, ada dua tipe jemaah umrah. Pertama, punya pengalaman traveling yang tinggi, jadi pasti memilih umrah mandiri karena tahu seluk beluknya.
Kedua, untuk traveler yang awam, pasti memilih umrah dengan agen travel. Soalnya, tidak memahami bagaimana menyiapkan perjalanan ke luar negeri, khususnya mengurus birokrasi.
“Biasanya, yang awam itu tidak tahu urusan teknis perjalanan. Seperti jalur pembuatan visa seperti apa atau pesan tiket pesawat bagaimana. Lagi pula, semandiri-mandirinya umrah, tetap harus berhubungan dengan agen travel untuk mengurus visa,” kata Nurdan.
Antusiasme
Menurut Nurdan, antusiasme masyarakat, khususnya kaum urban untuk melakoni umrah mandiri cukul tinggi. Pasalnya, mereka kerap memiliki rencana perjalanan dan ibadah sendiri. Apalagi, sekarang pemerintah telah mengizinkan perjalanan umrah sendiri karena sebelumnya harus melewati penyelenggara perjalanan ibadah umrah (PPIU).
Tahun ini, Nurdan mengurus sekitar 50 orang yang berangkat umrah mandiri. Sementara itu, untuk umrah reguler, biasanya Nurdan memberangkatkan sekitar 80 orang per rombongan.
Masalah biaya, kata Nurdan, antara umrah mandiri dan agen travel tidak terlalu jauh. Akan tetapi, umrah mandiri bisa lebih murah karena jemaah bisa menentukan akomodasi sendiri.
“Secara pribadi, menurut saya, lebih nyaman umrah mandiri. Soalnya, bisa lebih enak menentukan alur perjalanan sendiri, ibadahnya juga lebih leluasa, bahkan mau umrah sampai empat atau lima kali pun bisa,” ujar Nurdan.
Risiko
Di sisi lain, Asosiasi Muslim Penyelenggara Haji dan Umrah Republik Indonesia (AMPHURI) menyoroti dampak negatif dari munculnya istilah umrah mandiri dalam UU PIHU tersebut. Sekretaris Jenderal (Sekjen) AMPHURI Zaky Zakariya mengatakan, ketentuan tersebut menimbulkan kegelisahan di kalangan penyelenggara resmi dan pelaku usaha haji-umrah di seluruh Indonesia. Umrah mandiri berpotensi menimbulkan risiko besar bagi jemaah, ekosistem keumatan, dan kedaulatan ekonomi umat.
“Jika legalisasi umrah mandiri benar-benar diterapkan tanpa pembatasan, maka akan terjadi efek domino,” ujar Zaky di Jakarta, kemarin.
Secara konsep, kata dia, umrah mandiri dipahami sebagai perjalanan ibadah yang dilakukan jemaah tanpa melalui penyelenggara perjalanan ibadah umrah (PPIU) resmi. Ia menilai konsep tersebut tampak memberikan kebebasan, namun sebenarnya mengandung risiko besar, seperti bimbingan manasik, perlindungan hukum, maupun pendampingan di Tanah Suci.
“Jika terjadi gagal berangkat, penipuan, atau musibah seperti kehilangan bagasi dan keterlambatan visa, tidak ada pihak yang dapat dimintai pertanggungjawaban,” katanya.
Di samping itu, jemaah juga bisa terjerat pelanggaran aturan di Arab Saudi karena minimnya pemahaman terhadap regulasi setempat, seperti batas waktu visa (overstay), larangan berpakaian beratribut politik, atau aktivitas yang dianggap mengganggu ketertiban umum.
“Sejarah mencatat, banyaknya kasus penipuan umrah dan haji, termasuk tragedi besar pada 2016 ketika lebih dari 120.000 orang gagal berangkat. Dengan pengawasan ketat saja, penipuan masih terjadi, apalagi bila praktik umrah mandiri dilegalkan,” ujarnya.
Lebih jauh, Zaky menilai legalisasi umrah mandiri justru membuka peluang bagi korporasi dan platform global, seperti online travel agent perjalanan internasional untuk langsung menjual paket ke masyarakat Indonesia tanpa melibatkan PPIU lokal.
“Jika hal ini dibiarkan, kedaulatan ekonomi umat akan tergerus. Dana masyarakat akan mengalir keluar negeri, sementara jutaan pekerja domestik kehilangan penghasilan,” katanya.
Ia menjelaskan, sektor umrah dan haji selama ini menyerap lebih dari 4,2 juta tenaga kerja, mulai dari pemandu ibadah, penyedia perlengkapan, hingga pelaku UMKM di daerah.
Selain itu, legalisasi umrah mandiri juga berpotensi menurunkan tingkat komponen dalam negeri (TKDN) dan mengurangi penerimaan pajak karena nilai tambah ekonomi bergeser ke luar negeri.
Menurut Zaky, umrah mandiri tidak dapat disamakan dengan perjalanan wisata biasa. Pasalnya, ibadah umrah merupakan ibadah mahdhah yang membutuhkan bimbingan dan nilai spiritual.
“Jika peran lembaga keagamaan seperti pesantren, ormas Islam, dan PPIU diabaikan, maka nilai-nilai rohani yang selama ini menyertai perjalanan ibadah akan hilang. Umrah bisa berubah menjadi sekadar transaksi digital tanpa makna spiritual,” ujarnya.
Zaky mendorong Kementerian Haji dan Umrah RI serta DPR RI, melalui Komisi VIII, agar memberikan batasan teknis yang jelas agar tidak merusak ekosistem keumatan yang telah dibangun.
Tafsir detail
Agus Komarudin Hidayat dari Biro Perjalanan Wisata (BPW) Asro Ibad Haramain memberikan kritik tajam dampak kebijakan umrah mandiri bagi biro perjalanan resmi.
Agus menyuarakan keprihatinan mendalam mengenai dampak kebijakan umrah mandiri. Kebijakan ini dapat mematikan biro perjalanan secara perlahan.
”Umrah mandiri bagi biro atau travel itu merupakan kematian secara perlahan karena tadinya jemaah mau bersama travel menjadi mandiri,” katanya.
Ia menjelaskan, biro perjalanan telah melalui proses panjang dan sulit untuk mendapatkan izin resmi, mulai dari pendirian PT, BPW, hingga mendapatkan status PPIU yang memerlukan verifikasi berkala setiap dua tahun. ”Dengan adanya kebijakan umrah mandiri ini, jadi buat apa ada PPIU? Peran PPIU jadi semakin sempit dan pada akhirnya suatu saat bakalan mati suri,” tutur Agus.
Agus juga menilai, animo masyarakat terhadap umrah mandiri sebenarnya tidak terlalu besar. Ia berpendapat bahwa jemaah, dengan segala kesibukan dan keterbatasan, masih lebih memilih mengandalkan biro perjalanan.
”Saya juga bisa memastikan, dari tahun ke tahun, (animo umrah mandiri) semakin kecil karena repot harus serba ngurus sendiri dan (harus) bisa menguasai segalanya perihal umrah mandiri ini,” katanya.
Lebih lanjut, ia menyoroti aspek pertanggungjawaban dan risiko. “Selain dari itu, pertanggungjawabannya bila terjadi sesuatu peristiwa yang tidak diharapkan, jamaah mandiri harus berani menanggung risikonya sendiri, baik dari segi materi maupun waktu dan kenyamanan beribadah,” katanya.
Pemilik Albahri Haramain Tour and Travel, Andi Syamsul Bahri mengatakan, regulasi baru mengenai umrah mandiri yang dinilai masih memerlukan penafsiran lebih detail. Aturan tersebut memiliki celah yang berpotensi dimanfaatkan oleh oknum tidak bertanggung jawab sehingga menimbulkan risiko baru.
”Aturan umrah mandiri ini masih perlu dikaji dan didetailkan. Kami melihat, ada celah yang bisa dimanfaatkan oleh sebagian kecil oknum untuk ‘umrah panjang’, yaitu tinggal dari umrah sampai musim haji, atau bahkan untuk bekerja di Arab Saudi,” ujar Andi. (Moch. Iqbal Maulud, Windy Eka Pramudya/”PR”)***






