Sabo– Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) Jawa Barat kembali mengingatkan masyarakat untuk tidak terlibat dalam kegiatan perdagangan maupun peredaran rokok ilegal. Langkah ini menjadi bagian dari komitmen pemerintah dalam menekan praktik pelanggaran cukai yang merugikan negara.
Kepala Kantor Wilayah DJBC Jawa Barat, Finari Manan, menegaskan bahwa pelaku yang terlibat dalam peredaran rokok tanpa pita cukai resmi akan dikenai sanksi pidana berat, termasuk ancaman hukuman penjara hingga lima tahun dan denda maksimal Rp200 juta.
“Sesuai Pasal 54 Undang-Undang Cukai, setiap orang yang mengedarkan, menimbun, membeli, bahkan mengonsumsi rokok ilegal dapat dikenakan hukuman pidana penjara paling lama lima tahun atau denda paling banyak dua ratus juta rupiah,” ujar Finari seusai kegiatan pemusnahan rokok ilegal di Kota Bogor, Selasa 21 Oktober 2025.
Finari menyebutkan, dalam beberapa tahun terakhir, Jawa Barat menjadi salah satu wilayah dengan tingkat peredaran rokok ilegal tertinggi di Indonesia. Hal ini disebabkan oleh posisi strategis provinsi tersebut yang menjadi jalur lintas distribusi antarwilayah, mulai dari Sumatera, Jawa Tengah, hingga Kalimantan.
“Cirebon menempati urutan tertinggi untuk kasus rokok ilegal di Jawa Barat, disusul oleh Purwakarta dan Bogor. Kami terus meningkatkan pengawasan dan operasi gabungan bersama aparat penegak hukum lainnya,” ungkap Finari.
Bea Cukai Jawa Barat menargetkan penindakan terhadap 78,5 juta batang rokok ilegal sepanjang tahun 2025. Upaya ini dilakukan melalui penguatan patroli darat, kerja sama intelijen, serta sosialisasi kepada masyarakat dan pelaku usaha kecil menengah.
Menurut Finari, maraknya rokok ilegal disebabkan oleh faktor ekonomi dan kurangnya kesadaran masyarakat. Rokok tanpa pita cukai sering dijual di warung atau kios kecil dengan harga lebih murah dibandingkan rokok legal, sehingga lebih diminati oleh konsumen berpenghasilan rendah.
“Harga murah menjadi daya tarik utama, padahal dampaknya sangat merugikan negara. Setiap batang rokok ilegal berarti potensi penerimaan cukai yang hilang,” jelasnya.
Selain merugikan negara dari sisi fiskal, keberadaan rokok ilegal juga berisiko terhadap kesehatan masyarakat karena tidak melalui proses produksi yang diawasi secara ketat. Banyak di antaranya diproduksi tanpa standar kualitas dan pengawasan bahan baku.
Finari menegaskan bahwa penegakan hukum terhadap pelaku rokok ilegal akan terus diperketat, baik terhadap produsen, distributor, maupun pengecer. Pihaknya bekerja sama dengan kepolisian, kejaksaan, serta pemerintah daerah untuk mempersempit ruang gerak para pelaku.
“Ini bukan hanya soal penegakan hukum, tapi juga upaya menjaga keadilan bagi pelaku usaha yang taat aturan. Mereka yang membayar cukai dengan benar tidak boleh dirugikan oleh peredaran produk ilegal,” tegasnya.
Bea Cukai Jawa Barat juga terus melakukan kampanye edukatif melalui berbagai kegiatan sosial dan penyuluhan. Masyarakat diajak untuk mengenali ciri-ciri rokok ilegal, seperti tidak adanya pita cukai, pita cukai palsu, atau harga jual yang tidak wajar.
“Dengan kesadaran bersama, kita bisa menekan peredaran rokok ilegal. Jangan tergiur harga murah, karena membeli rokok tanpa cukai berarti mendukung pelanggaran hukum,” imbau Finari.
Kegiatan pemusnahan rokok ilegal di Bogor menjadi simbol komitmen Bea Cukai Jawa Barat dalam menjaga ketertiban cukai. Ribuan bungkus rokok tanpa pita cukai dimusnahkan dengan cara dibakar sebagai bukti nyata penegakan hukum.
Melalui langkah tegas ini, DJBC Jawa Barat berharap masyarakat semakin memahami pentingnya peran cukai bagi pembangunan nasional. Dana hasil cukai digunakan untuk membiayai berbagai program sosial, kesehatan, dan pemberdayaan masyarakat.
“Setiap batang rokok legal yang dibeli masyarakat sebenarnya turut berkontribusi bagi pembangunan. Karena itu, mari kita dukung perdagangan yang jujur dan sesuai aturan, demi Indonesia yang lebih sehat dan berintegritas,” tutup Finari.***






