Free Gift

Wawancara Nirina Zubir: Kebaikan, Ketulusan, dan Pembelajaran

SEBUAH kebaikan dengan niat yang tulus tidak ada salahnya diperlihatkan kepada banyak orang. Setidaknya pesan tersebut yang dipetik oleh Nirina Zubir melalui film barunya, Hanya Namamu dalam Doaku. Menurutnya, setiap tindakan positif dengan tujuan bukan pencitraan berhak diramaikan karena bisa saja menjadi inspirasi orang lain untuk melakukan hal yang sama.

Dalam wawancara bersama Tempo pada Selasa, 8 Juli 2025, Nirina menceritakan awalnya sempat salah paham dengan judul film Hanya Namamu dalam Doaku. Ia mengira film produksi Sinemaku Pictures ini bergenre religi. Hal itu cukup membuatnya bertanya-tanya karena merasa perlu menyiapkan diri terlebih dahulu, jika memang benar.

Faktanya, Hanya Namamu dalam Doaku merupakan film drama keluarga garapan sutradara Reka Wijaya bersama Prilly Latuconsina, Umay Shahab dan Bryan Domani sebagai produser. Film yang akan tayang di bioskop pada Kamis, 21 Agustus 2025 ini mengikuti kisah pejuang ALS (Sklerosis Lateral Amiotrofik), penyakit saraf progresif yang menyerang sel-sel saraf.

Arga (Vino G. Bastian) adalah sebagai seorang suami dan ayah penyayang. Istrinya adalah Hanggini (Nirina Zubir) dan keduanya dikaruniai anak perempuan, Nala (Anantya Kirana). Arga mulai menjauh secara emosional dari keluarganya setelah didiagnosis penyakit ALS yang perlahan melemahkan tubuhnya. Ia memilih menyimpan rahasianya sendiri demi melindungi orang-orang yang ia cintai.

Nirina mengaku pernah mengalami kejadian yang menimpa Hanggini, meskipun tidak persis. Ia melihat film ini bukan meromantisasi kesedihan, melainkan sebagai sebuah pelajaran berharga, baik tentang penyakit ALS yang belum banyak diketahui masyarakat serta nilai-nilai kekeluargaan.

Bagaimana proses Anda sampai bisa bergabung dalam film ini?

Tiba-tiba waktu itu Umay yang menghubungi, ‘kak aku ada film nih kak.’ Terus coba dikiri dulu segala macam. Judulnya apa? Hanya Namamu dalam Doaku. Film muslim, religi maksudnya? ‘oh bukan kak.’ Maaf soalnya namanya begitu. Pas lagi baca naskahnya, baru masuk akal kenapa namanya itu. Tadinya itu aku pikir benar-benar kayak, aku harus pakai hijab apa bagaimana gitu. Ternyata memang moral-moral di sini, kita tidak harus menjadi film religi untuk memberikan hal-hal yang ada nafas agamisnya. Tapi lebih bukan agamis sih, lebih kebaikannya gitu loh. Dan ini bukannya yang mengotak-otakan agama, tapi lebih kepada itu tadi, kita menjadi manusia seutuhnya. Melakukan kebaikan dalam hubungan berkeluarga.

Ceritanya mengenai sesuatu yang sebelumnya aku enggak sadari. Jadi buat aku sudah banyak banget poin plusnya. Terus ditambah lagi juga mendukung Sinemaku yang makin bertumbuh. Aku sangat bangga dengan Sinemaku. Melihat proses mereka bikin film dengan punya tema-temanya sendiri dan mungkin misi sendiri buat mereka, jadi waktu ditawarin akhirnya aku mau jadi bagian dari mereka.

Artinya, di awal Anda sempat ragu ketika pertama kali mengetahui judulnya?

Aku kira ini adalah film religi. Kalau film religi, aku juga harus siap dulu ya secara pribadi. Cuman tanya saja ‘ini film religi? Aku harus pake hijab?’ ‘Oh enggak, kita kirim ya ini semua ceritanya.’ Oh oke. Ditambah lagi sudah diceritakan juga siapa-siapa pemainnya. Ditambah Vino, kami terakhir syuting sekitar 20 tahunan lalu, film pertama kami bareng-bareng. Kalau sama Vino di series dulu sudah pernah.

Aku suka cerita dan visi-visi di balik film ini. Mulia sekali mereka membuat film ini. Banyak yang bilang ‘ah, ini mungkin satu proyek yang mendongpleng sebuah kejadian dan karena itu mereka jadi dikenal.’ Enggak sih, enggak selamanya harus melihat seperti itu. Di film ini ada unsur edukasinya juga terhadap satu penyakit yang kita belum sadar.

AA1KHQ2iPemeran film ‘Hanya Namamu dalam Doaku’, Nirina Zubir memerankan karakter Hanggini saat mengunjungi Kantor Tempo, Palmerah, Jakarta, 8 Juli 2025. Tempo/Bintari Rahmanita

Ada orang bilang, ‘lu bikin kebaikan jangan riya gitu dong, lu bikin aja kebaikan.’ Kalau aku bilang, eh kebaikan justru harus diriyain. Bukan dalam arti maksudnya lu pencitraan ya, tapi kalau lu memang melakukan sesuatu yang baik dengan tulus, lu berhak meriyakan. Karena dengan itu akhirnya jadi benar-benar yang namanya positive vibe.

Jadi aku mendukung film juga karena banyak hal. Kalau ngomongin film ini bikin mewek ya. Karena banyak orang-orang yang juga mengalaminya, saya juga pernah mengalaminya, terus kayaknya banyak juga yang mengalaminya, tapi enggak mengerti bahwa itu adalah sesuatu yang baik, sebuah ketulusan yang enggak pernah ada nilainya, tapi kita ternyata menjalankannya.

Situasi seperti apa yang Anda alami?

Ibuku sakit gula (diabetes), tapi bandel. Di depan kami kayak enggak pernah makan. Terus sudah gitu semua orang bilangnya Nirina enggak kasih makan. Enggak kasih makan yang mama mau, mungkin lebih tepatnya gitu. Masuk rumah sakit, nanti keluar lagi, masuk lagi.

Itu diujinya benar-benar sampai aku pernah di titik bertanya, sampai batas mana ya anak itu disebut anak yang berbakti dan sampai di titik mana adalah anak yang kualat? Karena kan kita melarang banget, enggak boleh ini. Aku berpikir, gua larang-larang mulu, gua salah enggak sih? Gua biarin saja, salah juga enggak sih? Gue melarang berarti gue merampas kebahagiaannya dia? Ih jahat banget gue. Tapi di satu sisi lu pengin dia sehat, tapi kan dia sudah pernah hidup lama.

Dia stroke berulang kali, sampai yang terakhir benar-benar kalau ngomong juga sudah nyeret, tapi muka alhamdulillah aman. Kalau kami sudah mulai enggak mengerti, marah kan jadinya, emosi karena dia kan mencoba ngomong tapi susah.

Itu sebabnya film ini indah karena kalau buat banyak orang mungkin ada yang merasa untungnya gue sempat merawat. Kalau ibuku dan bapakku memang 11-12, karena digabung dengan bekerja juga, digabung juga anak lagi tumbuh kembang jadi kayak mana yang harus di prioritasin? Enggak tahu, bingung tapi ya aku juga sempat ada di momen di mana aku menyesal lagi enggak merawat bapakku. Waktu itu kami selalu merasa bapak kami lebih kuat jadi aman, terus di antara kami kakak beradik untungnya solid dan bisa ada pembagian: secara waktu, fisik, finansial. Cuman tetap saja walaupun merasa berkontribusi, kontribusi kita belum ada apa-apanya dibanding yang secara fisik menemani.

Makanya, pas menonton film ini, hancur aku, mata bengkak idung mampat sudah enggak bisa ngomong. Ada di satu sisi walaupun kita selalu diingatkan untuk jangan pernah membandingkan diri, malah aku membandingkan sama diriku sendiri dalam karakter itu. Aku berharap bisa lebih sempat kayak gitu. Jadi hancurnya dua kali lipat. Aku benar-benar berharap bisa begitu, tapi ya sudah lah kan lu sudah mau berikan yang terbaik, tapi yang di sebelahnya lebih enak.

Apakah mengalami kesulitan untuk memahami cerita dalam film ini, khususnya tentang penyakit yang belum banyak diketahui orang?

Kerennya, yang aku salut sama Sinemaku adalah mereka itu semuanya berdasarkan riset, bahkan mengenai ceritanya ini mereka FGD (Focus Group Discussion) terus. Aku merasa enggak melakukan ini sendiri, dirangkul oleh rumah produksinya. Sebelum syuting kami dikasih seminar, melihat langsung penjuang ALS, bertemu sama pengasuhnya langsung, dokternya langsung.

Buat aku, memerankan film ini dan melihat rumah produksinya melakukan riset sebegitunya, kami merasa dilindungin juga dalam segi pemain. Jadi enggak cuman sekadar menggunakan penyakit untuk cerita sebuah film tapi memang ada alasannya karena banyak orang yang pikir ALS ini kalau misalnya di daerah bilangnya ini diguna-guna atau dipelet. Padahal ada penyakit seperti ini yang mungkin memang belum awam buat kita.

Pemilihan ALS ini buat aku tepat bisa membantu menyuarakannya juga. Kenapa enggak kanker? Karena memang itu kita sudah lebih tahu, enggak dengan ALS. Ini bukan karena mendompleng sebuah penyakit tapi lebih kepada ingin membantu memberitahukan orang-orang ada penyakit ini dan senangnya itu mereka tidak mengemasnya dengan cara menggurui. Mereka punya strategi supaya orang awam jadi tahu. Pesan bisa dilakukan atau diberikan dari sebuah film.

Bagaimana chemistry dengan pemain lain?

Ini menurut aku termasuk cast yang menyenangkan semua karena kemarin saja waktu kami screening yang aku baru pertama kali nonton itu, aku langsung ngomong sebagai pemain kan kami kadang-kadang pada awalnya jujur saja pasti kami pengin tahu dulu penilaian diri kami sendiri. Kemarin itu saking semuanya nyaman aku merasa para pemain nyaman banget semua jadi kayak bukan karena untuk menilai tapi lebih kepada waktu nonton saja sudah enggak ada penilaian karena saking nyamannya. Semuanya sama-sama menerangi jalannya cerita ini.

Apa kesulitan yang dialami selama syuting?

Sulitnya itu karena kami nyaman banget dengan orang-orangnya, dan memang ini tuh sebenarnya kalau dilihat ceritanya ‘berat’, tapi di lokasi ketemunya sama dia-dia lagi. Banyak ketawa di lokasi syuting. Ada Nay (Naysilla Mirdad) dengan halus lembutnya. Sementara aku harus marah sama dia. Bagaimana caranya marah sama Nay? Dia tidak berhak dimarahi, orang itu lembut sekali. Jadi sulitnya lebih ke realitas dan di setnya saja.

Apakah Anda memiliki ritual khusus sebelum memulai adegan untuk membantu Anda bertransformasi ke karakter tersebut?

Alhamdulillah karena dukungan teman-teman juga jadi benar-benar kami kalau lagi ketawa, terus adegannya berat, langsung serius lagi. Semuanya saling membantu satu sama lain. Untungnya walaupun suka kelepasan kadang-kadang kami terlalu gembira tapi balik lagi karena suasana kerjanya senang jadi semuanya saling mendukung.

Apakah Anda mengalami momen di mana emosi dari karakter yang Anda perankan terbawa ke kehidupan sehari-hari?

Kalau sampai terbawa ke rumah sih enggak. Tapi ada satu adegan yang memang sudah di-switch-off-in harusnya, tetap kebawa, menangisnya enggak kelar-kelar. Tahu kan bkalau misalnya menangis cuman butuh air mata sama menangis benar-benar yang dari hati itu kan beda banget. Ini menangisnya benar-benar sesenggukan, orang sudah enggak bisa tertahankan, sebegitu perih, sebegitu sakitnya, enggak berdaya.

Apa pelajaran yang Anda dapatkan dari film ini?

Kalau buat kebaikan kayaknya diriyakan enggak apa-apa karena kadang-kadang kita itu suka takut ya kalau melakukan sesuatu yang baik terus diriyakan itu, asal bisa tanggung jawab dan sungguh-sungguh melakukannya untuk kebaikan. Bukan cuman sekadar giliran pas lagi di depan kamera kayak baik-baik tapi ternyata belakangnya enggak.

Kalau menurut aku, positif itu harus diramaikan karena dengan begitu orang lain juga tergerak untuk melakukan hal yang sama, lebih punya empati daripada nanti kita jadi manusia yang individualistis sekali yang sekarang sudah terjadi, sudah terpupuk dan sudah semakin terbangun seperti itu. Kita bahkan tidak lagi bertanya apa kabar kepada teman-teman kita. Semua melalui WhatsApp, tapi kita sudah enggak pernah melihat ekspresi wajah teman-teman kita lagi karena semua bisa kita dapetkan dari kata-kata. Padahal kan kata-kata itu bisa menjadi pisau bermata dua.

Jadi kalau bagi aku, kebaikan sebaiknya disebarkan dan ini adalah salah satu contohnya. Film ini adalah salah satu contohnya kalau sebagai istri dan ibu tidak ada yang sempurna api sebisa mungkin kita menjalankan sebaik-baiknya. Ketulusan itu bukan atas penilaian orang lain tapi bagaimana kita menjalankannya dan bisa mendapatkan kebahagiaan dari situ. Kadang-kadang sekarang di dunia yang kita semua serba dinilai, kita baru dapat kebahagiaan kalau kata orang kita sudah baik, kata orang itu sudah bagus, padahal belum tentu. Hal-hal yang kecil kita kerjakan itu sesuatu yang berarti.

Intinya sebagai istri berusaha yang terbaik dan kalau di tengah-tengah misalnya kamu merasa capek, kesal, kamu punya hak kok. Kalau lagi merasakan itu, mundur saja dulu, nafas, alihkan pikiran dengan mengerjakan sesuatu yang lainnya baru nanti kembali lagi. Karena akhirnya aku juga pernah ngerasa yang namanya burn out. Setelah 45 tahun baru kena yang namanya burn out. Pokoknya lakukan dengan sepenuh hati, kalau kadang terasa berat coba mundur dulu sebentar untuk bisa maju lebih banyak lagi ke depan.

Want a free donation?

Click Here