BAGIKAN BERITA – Cahaya pagi menyapa lembut di Situ Cangkuang, Leles, Garut, ketika rakit bambu perlahan meluncur di atas air yang tenang. Suara riak dan desir angin membawa rombongan Famtrip Railwy West Java Rute 4 bertema “Railways Scenic Panoramic Familiarization Trip to Garut–Tasikmalaya” mendekati sebuah pulau kecil yang menyimpan kisah panjang pertemuan dua peradaban besar: Hindu dan Islam.
Pulau itu adalah rumah bagi Candi Cangkuang, satu-satunya candi Hindu yang masih utuh di Jawa Barat, sekaligus tempat dimakamkannya Embah Dalem Arief Muhammad, tokoh penyebar Islam di wilayah Garut pada abad ke-17. Dalam suasana tenang, kompleks ini menjadi saksi sejarah bagaimana dua keyakinan besar hidup berdampingan dan membentuk identitas budaya masyarakat setempat hingga kini.
Jejak Hindu di Tanah Sunda
Candi Cangkuang berdiri di atas lahan kecil di tengah danau, berukuran 4,5 x 4,5 meter dengan tinggi sekitar delapan meter. Di dalamnya tersimpan arca Dewa Siwa, peninggalan masa Hindu-Buddha yang diperkirakan berasal dari abad ke-8 Masehi. Nama “Cangkuang” sendiri diambil dari tanaman pandan sejenis Pandanus furcatus yang banyak tumbuh di sekitar lokasi.
Menurut Munawar Anzar, juru pelihara Candi Cangkuang, penemuan candi ini bermula dari laporan seorang warga Belanda bernama Vorderman dalam Notulen Bataviaasch Genootschap tahun 1893. Ia menulis tentang adanya arca Siwa dan makam tokoh bernama Arief Muhammad di Desa Cangkuang. Namun, situs itu baru benar-benar ditemukan kembali oleh tim peneliti dari Leles pada 9 Desember 1966, dipimpin oleh Harsoyo dan Uka Tjandrasasmita.
“Ketika ditemukan, hanya sekitar 40 persen batu aslinya yang masih utuh,” tutur Munawar. “Sisanya dibuat dari cetakan batu baru agar menyerupai bentuk aslinya. Pemugaran dilakukan antara tahun 1974 hingga 1976.”
Kini, bangunan candi yang berdiri megah di tengah danau menjadi bukti nyata bahwa pada masa lalu, pengaruh Hindu pernah mengakar kuat di wilayah Priangan Timur.
Islam Tumbuh di Kampung Pulo
Namun, di balik keagungan arca Siwa, tak jauh dari candi berdiri Kampung Pulo, perkampungan adat yang menjadi pusat penyebaran Islam pertama di Garut. Di sinilah Embah Dalem Arief Muhammad, panglima perang Kerajaan Mataram yang gagal menyerang VOC di Batavia, memilih menetap dan berdakwah.
“Masyarakat di sini dulunya penganut Hindu dan kepercayaan animisme,” jelas Munawar. “Namun perlahan, mereka memeluk Islam berkat ajaran Embah Dalem Arief Muhammad.”
Keturunan Embah Dalem masih tinggal di Kampung Pulo hingga kini. Ada enam rumah adat dan satu musala—simbol dari tujuh anak beliau, enam perempuan dan satu laki-laki. Jumlah rumah tak pernah bertambah, mengikuti aturan adat yang diwariskan turun-temurun. “Kalau ada yang menikah, mereka harus keluar dari kampung. Tapi kalau orang tua mereka wafat, anak boleh kembali untuk mengisi kekosongan,” tutur Munawar.
Selain itu, sejumlah pantangan juga dijaga ketat: tidak boleh menabuh gong besar, tidak boleh beternak hewan berkaki empat, dan tidak boleh menambah bangunan pokok di kampung. Larangan-larangan ini berakar dari kisah tragis anak laki-laki Embah Dalem yang meninggal saat upacara sunatan diiringi tabuhan gong.
Perpaduan Dua Warisan
Menariknya, meski kini seluruh warga Kampung Pulo beragama Islam, jejak tradisi Hindu masih melekat dalam budaya mereka. Ritual seperti memandikan pusaka, syukuran, hingga peringatan Maulid Nabi tetap dilakukan dengan nuansa lokal yang kental. “Di sini, Islam dan tradisi berjalan berdampingan. Tidak saling meniadakan,” kata Munawar.
Sebuah museum kecil di kompleks candi turut memamerkan peninggalan keislaman dari masa Arief Muhammad: naskah Al-Qur’an abad ke-17 yang ditulis di atas daluang (kertas dari pohon saeh), teks khutbah Idulfitri sepanjang 167 sentimeter, dan berbagai artefak sejarah lainnya.
Dari Bandung ke Garut: Menyusuri Jalur Rel hingga Wisat Sejarah Religi
Kunjungan ke Candi Cangkuang menjadi agenda hari pertama (Selasa 21 Oktober 2025) rombongan Famtrip Railway West Java Rute 4 yang berlangsung pada 21–24 Oktober 2025. Sebanyak 21 peserta yang terdiri dari pelaku pariwisata dan agen perjalanan dari berbagai daerah di Indonesia hingga mancanegara berangkat dari Stasiun Bandung menaiki Kereta Papandayan Panoramic, lalu melanjutkan perjalanan dengan bus dari Stasiun Cibatu menuju Leles.
Menurut Ghurfah Fauzulhaq, Humas DPD ASITA Jawa Barat sekaligus Koordinator Famtrip Rute 4, kegiatan ini merupakan bagian dari strategi pemasaran Dinas Pariwisata dan Kebudayaan (Disparbud) Provinsi Jawa Barat untuk mempromosikan destinasi wisata yang dapat dijangkau menggunakan transportasi kereta.
“Program ini dirancang agar pelaku wisata bisa membuat paket tur berbasis jalur kereta, terutama untuk wilayah Garut dan Tasikmalaya,” ujar pria yang akrab disapa Igo. “Pesertanya juga kami pilih dari berbagai daerah strategis, bahkan ada dari Nairobi Afrika Utara, agar promosi pariwisata Jabar menjangkau pasar internasional.”
Menghidupkan Kembali Spirit Sejarah
Perjalanan ke Candi Cangkuang bukan sekadar wisata religi atau sejarah. Ia adalah perjalanan menelusuri akar peradaban yang membentuk wajah budaya Sunda—tempat di mana simbol Siwa dan makam seorang ulama berdiri berdampingan, melambangkan harmoni dua keyakinan besar yang pernah hidup di tanah Garut.
Dari balik kabut tipis yang menggantung di Situ Cangkuang, rombongan Famtrip menyaksikan bukan hanya keindahan alam, tapi juga kedalaman makna: bahwa sejarah bukan hanya untuk dikenang, melainkan untuk dipelajari dan dijaga, agar generasi mendatang memahami bahwa keberagaman adalah bagian dari jati diri bangsa.***






